Satu minggu berlalu semenjak kami mengantar Yashira ke UGD. Satu minggu yang bagiku terasa berjalan begitu lambat. Sunyi. Seolah waktu enggan bergerak.
Kini ia dirawat
di ICU anak.
Diagnosis dokter
menyatakan bahwa Yashira keracunan Karbon Monoksida sehingga mengalami gangguan
pada saluran pernapasan. Ia sempat kehilangan kesadaran karena kurangnya
oksigen yang tersuplai ke otak.
Yashira pingsan
selama kurang lebih lima jam—jika kami hitung dari awal mula kebakaran meluas
ke sepenjuru rumah susun. Sebagai orangtua, hal ini sangat menyayat hatiku. Melihat
sang buah hati terkulai tak berdaya, dikerumuni oleh alat-alat yang aku sendiri
tak hafal nama, maupun kegunaannya. Satu hal yang ku tahu: mereka sedang
menjaga Yashira.
Rasa bersalah, tak
pernah mau hilang dari dalam diriku. Berkali-kali aku menangis tersendu-sendu
di pojok ruangan tempat aku serta istriku menginap. Hari-hari berlalu namun tak
kunjung menyembuhkan barang se-inci sayatan yang terpatri dalam hatiku.
Benar, jika
dikatakan bahwa kejadian ini sepenuhnya di luar kendaliku. Tetapi aku tidak
bisa menjadikan kejadian ini sebagai alasan pembelaan terhadap kebodohan,
kelalaian, serta keegoisanku yang terlalu besar.
Bagaimana caraku
untuk membela diri? Anak semata wayangku hampir hilang dari dekapanku. Untuk
selamanya. Tanpa pamit. Tanpa senyuman perpisahan.
Hari Senin malam,
tanggal duapuluh dua bulan dua, istriku menyenderkan kepalanya ke bahuku—beristirahat.
Kami duduk di bangku tunggu ruang ICU. Malam panjang nan sunyi berjalan
layaknya tujuh malam yang lalu.
Aku mencoba untuk
tetap tegar. Tapi malam ini adalah malam tak terlupakan keduaku.
Pukul satu pagi, suara
yang tak pernah kudengar, suara yang menggetarkan jiwa, menaikkan bulu kuduk, menyentak
udara dingin malam. Memenuhi ruangan ICU.
Dalam sekejap
semua petugas kesehatan dan dokter bergegas mengambil peralatan mereka, berjejer—mengelilingi
kasur seorang anak.
Rasa kantukku
seketika menghilang, istriku tersentak bangun karena tubuhku terguncang. Aku
berdiri, mendekatkan diri ke ruang ICU, semua jendela kini ditutup rapat oleh
gorden. Sekilas aku melihat di kasur mana mereka berkerumun.
Tidak mungkin.
Posisi kasur itu
adalah kasur Yashira. Apa yang terjadi? Bukankah tadi suara alarm dari monitor
pasien?
"Kejang,"
bisik seorang suster yang melintas cepat di belakangku. "Oksigennya drop
tiba-tiba."
Tubuhku mematung.
Aku ingin menerobos masuk, ingin melakukan sesuatu—apa saja. Tapi kakiku berat,
seolah ditambatkan oleh ketakutan paling dalam. Aku menelan ludah. Nafasku
seperti tertahan. Dan di tengah kepanikan itu, aku sadar—belum sempat aku
menyampaikan satu kalimat penting kepadanya.
Kalimat yang
sudah berulang kali kuucap dalam hati, tapi belum pernah benar-benar kudengar
keluar dari mulutku sendiri. Kalimat yang sederhana, tapi terlalu lama kutunda
karena rasa malu, gengsi, atau kesibukan yang tak pernah benar-benar penting.
Aku mencintaimu,
Nak.
Tapi bagaimana
jika aku sudah terlambat? Suara mesin meningkat nadanya. Satu alarm berbunyi,
lalu disusul yang lain. Para petugas bergantian memberi instruksi. Salah satu
dokter menunduk, memberi isyarat kepada perawat lain. Ada yang menyebut
“epinefrin.” Ada pula yang mencatat angka-angka pada layar monitor.
Waktu seperti
berhenti.
Tapi tidak untuk
mereka. Tidak untuk orang-orang yang sekarang berdiri di antara hidup dan
matinya anakku.
Lalu, mendadak … sunyi.
Bunyi mesin stabil. Tidak lagi melengking. Seorang dokter keluar dari ruangan.
Wajahnya lelah, tapi matanya tenang.
“Kami berhasil
menstabilkannya. Tapi … kita masih harus sangat hati-hati.”
Aku nyaris tak
mendengar kata-kata terakhirnya. Seluruh tubuhku meluruh.
==============================================================================
“Mau berapa lama
lagi kamu tetap diam seperti ini? Kalau bukan karena kamu yang membayar makan
malam ini, sudah barang tentu aku akan meninggalkanmu dengan segala hal yang kamu
pendam.”
Aku menatap kedua
mata Mail.
“Jangan hanya
menatap mataku! Aku bukan lukisan yang perlu kamu teliti dengan pandangan
seperti itu.”
“Lusa aku akan
pergi ke ibu kota,” jawabku singkat.
“Lalu?” Mail
menjawab dengan ketus.
Aku diam. Lagi-lagi
menatap kedua matanya. Lantunan musik mengalun pelan dari pengeras suara
restoran seakan sengaja dipilih untuk mendramatisir percakapan kami.
“Hah, aku
benar-benar kesal dibuatmu. Aku pergi saja, tak jadi aku makan enak malam ini.”
Mail merapihkan barangnya bersiap untuk beranjak pergi. Gerakannya tergesa,
seolah ingin segera menghapus keberadaannya dari hadapanku. Aku hanya
menatapnya dalam diam.
“Selamat
tinggal.” Mail berdiri dari duduknya.
“Kau benar-benar
ingin meninggalkan daging panggang ini?” Aku mulai menggoda, mengangkat
sepiring daging kehadapannya. Alis Mail mengerut, tapi sudut bibirnya terangkat
setengah. Tangannya terhenti di ritsleting tas. Ia berdiri setengah hati,
seperti lupa sedang marah. “Apakah kau rela meninggalkanku menghabiskan semua
kenikmatan ini?”
“Terserah, hal
itu sudah tidak mempan kepadaku.” Mail berjalan menjauh.
“Mail! Aku sudah
membeli dua tiket pentas seni untuk hari esok.” Mail dikejauhan mematung.
Memandangku dengan tatapan yang sangat tajam. Ia tidak melakukan apapun untuk
beberapa detik—hanya memelototiku.
“Tunjukkan!”
Aku meraih kedua
tiket pentas seni budaya yang akan dilaksanakan di alun-alun kota. Mail adalah penggemar
berat hal-hal yang berkaitan dengan adat dan budaya, tak mungkin ia akan
melewatkan kesempatan sekali enam bulan ini.
Mail berjalan
perlahan kembali ke meja kami, dengan tatapan dan ekspresi kesal yang tak
berubah di raut wajahnya. Tanpa sepatah kata pun, ia mengambil salah satu tiket
dari genggamanku lalu kembali duduk.
“Aku sudah tidak
bekerja di perusahaanku sebelumnya,” kataku pelan. “Lusa nanti, aku akan pergi
menemui Fath.”
Tatapan Mail kini
lembut, tak lagi meledak-ledak. Ia mulai menyendokkan makanan ke mulutnya
pelan, tapi tak berpaling dariku. Seolah diamnya itu adalah cara memintaku
terus bicara. Ia tetap menyantap makanan dihadapannya ketika aku bercerita.
Lalu menyelaku, setelah aku menceritakan apa yang terjadi dalam perbincanganku
dengan kedua orangtuaku.
“Papahmu hanya
menasehati seperti itu?” Mail menyipitkan mata. Sudut kepalanya miring—seperti
mencium kebohongan dari kejauhan.
“Iya, dia hanya
memberiku nasehat seperti yang aku katakan tadi.”
“Kenapa papahmu
tidak memintamu untuk mengambil jalur hukum, toh kamu berada di posisi yang
benar, dan aku yakin kamu bisa membuktikan di pengadilan industrial bahwa kamu
tidak bersalah. Lagi pula papahmu salah seorang yang berpengaruh di kota ini.”
“Kau salah. Untuk
masalah pengadilan, aku sendiri tidak yakin bisa memenangkannya dengan
cepat—melihat kondisi perusahaanku yang sangat tertutup dan memiliki sumber
daya serta koneksi yang luar biasa. Lalu kau juga salah membawa-bawa papahku
untuk menyelesaikan permasalahan ini, walaupun dia memiliki kuasa tapi dia
tidak pernah menggunakannya untuk urusan pribadi.”
Mail mengangguk
pelan, lalu menyendokkan makanan ke mulutnya, masih menatapku sejenak. “Hmm,
baiklah .... Kalau kamu berkata begitu, dapat aku simpulkan kamu sudah memilih
jalanmu selanjutnya. Jadi apa yang Fath tawarkan?”
“Menjadi guru di
ibu kota,” jawabku singkat.
Mail langsung
tersedak. Ia terbatuk kecil, buru-buru menenggak air dan menyeka mulut dengan
tisu. Matanya menyipit kembali, bibirnya membentuk lengkungan mencurigakan.
“Tunggu … apa?”
katanya, nyaris tertawa. “Kamu, jadi guru? Apakah Fath sedang bercanda?”
“Dia mengatakan
bahwa aku pernah memberitahunya ketika menjadi pengurus Organisasi Siswa bahwa
suatu saat nanti aku akan menjadi guru yang baik.”
Mail menatapku
cukup lama, seakan tak percaya. “Seorang Yashira, berpikir bahwa dirinya akan
menjadi seorang guru ketika SMP, wow. Ini adalah versi lain dirimu yang baru
aku ketahui.” Mail tersenyum tipis. “Kalau begitu apalagi yang kamu
permasalahkan?”
“Nah, inilah inti
yang ingin aku bahas denganmu Il.” Aku menghela napas.
Tatapanku
menancap dalam ke mata Mail, seperti mencoba menembus sesuatu yang selama ini
hanya bisa kutebak-tebak.
“Bagaimana
rasanya jadi guru, Il?” suaraku pelan. “Apa yang membuatmu tetap bertahan di
jalan ini? Apa kira-kira yang mendorongmu—selain semangat ‘mulia’ itu?”
Aku berhenti sejenak,
lalu menambahkan, lebih pelan. “Bukankah jadi guru ... bukan pilihan untuk
mereka yang mengejar uang berlimpah?”
Mail menatapku
dengan diam. “Pertanyaan menarik,” jawabnya singkat.
Waktu terus
berjalan, namun Mail masih tetap diam dan hanya memandang wajahku. Sesekali ia
memandang keluar jendela. Memerhatikan kesibukan tengah kota di kala sore. Setelah
sekitar semenit berlalu, Mail mengelus jenggotnya.
“Kamu tahu, untuk
menjawab pertanyaanmu. Aku memiliki tiga pertanyaan. Pertama, untuk apa kamu
bekerja? Apakah kamu bekerja hanya agar kamu dapat bertahan hidup? Kedua, untuk
apa kamu mengumpulkan segunung harta? Apakah kamu bisa memberikan manfaat lebih
ketika kamu bergelimang harta dibanding ketika kamu cukup? Ketiga, untuk apa
kamu hidup? Apakah kamu sudah menemukan tujuan pasti dari rutinitas kehidupan
yang kamu jalani ini? Jawablah ketiga pertanyaanku ini terlebih dahulu.”
Aku berpikir
lebih dalam. Pertanyaan yang diajukan Mail terbilang cukup rentan disalah
artikan apabila aku asal menjawab. Kini aku yang memandang keluar jendela. Untuk
apa aku bekerja? Tentu saja untuk bertahan hidup. Memangnya ada jawaban lebih
logis dari sekedar bertahan hidup? Dan untuk apa menumpuk harta? Tentu saja
agar aku tidak kesusasahan dalam menjalankan hidup ini. Memangnya ada orang
yang kesusahan ketika ia memiliki harta berlimpah? Pertanyaan terakhir Mail,
untuk apa aku hidup? Pertanyaan tersulit menurutku dibanding kedua pertanyaan
sebelumnya. Untuk apa aku hidup? Hmm, sulit sekali.
Pertanyaan itu
menggantung di kepalaku, seperti gema yang tak kunjung reda. Pikiranku semrawut.
Rasanya seperti tersesat di lorong panjang tanpa cahaya. Aku mencoba berpikir
lebih keras. Pertanyaan-pertanyaan ini sangat filosofis. Aku tidak mengira Mail
akan mengajukan pertanyaan seperti ini kepadaku.
“Apakah kamu bisa
menjawab ketiga pertanyaanku?”
“Pertama, sebagai
seorang lelaki sudah barang tentu aku harus bekerja. Apakah hal itu hanya
sekedar untuk bertahan hidup? Aku belum tahu pasti, tetapi aku saat ini
berpikir bahwa memang pekerjaan adalah satu-satunya jalan agar kita para
manusia bisa bertahan hidup. Kedua, kita semua tahu bahwa harta adalah
satu-satunya kunci agar kita dapat hidup nyaman. Sejak dahulu kala, aku yakin
hal itu tidak berubah. Karena tidak ada pertukaran yang bisa dilakukan apabila
kau tidak memiliki apapun. Kebalikannya apabila kau memiliki banyak hal, kau
bisa melakukan apapun. Ketiga, sayangnya aku belum bisa menjawab pertanyaan
ketigamu.”
Aku menghela napas.
“Tujuan? Apakah kita memang harus memiliki tujuan hidup yang heroik seperti
yang dipropagandakan oleh mayoritas orang? Untuk apa hal itu kalau tidak
memberikan kepada kita suatu keuntungan yang pasti, toh kita bisa hidup nyaman
serta tenang dalam rutinitas kehidupan yang sedang kita jalani?”
Mail tersenyum
tipis.
“Aku suka
jawabanmu dalam beberapa artian. Ra, ketiga pertanyaan ini selalu terngiang di
dalam diriku selama aku berada di profesi ini. Kamu tahu, jawabanku atas
ketiganya tidak pernah tetap. Dalam tahun demi tahun yang berlalu, ia terus
berkembang. Hingga akhirnya di sebuah titik balik dalam kehidupanku, aku
menyimpulkan bahwa ini adalah perjalanan spiritual yang tak akan usai hanya
saat kamu berenang di permukaannya saja.”
“Jadi, kau berusaha
mengatakan bahwa aku tidak akan mengerti profesi ini kecuali apabila aku
merasakan pengalaman langsung tentangnya.”
“Kurang lebih
begitu,” jawab Mail singkat.
“Lalu bagaimana
dengan pertanyaanku barusan?”
“Tujuan hidup.”
Mail terdiam sesaat. “Untuk memahami satu hal ini—yang aku sendiri masih terus
berusaha memahaminya—bagiku, harus diawali dengan kesadaran.”
“Kesadaran?”
Keningku mengerut. Hal filosofis seperti apa lagi yang ingin Mail sampaikan
kepadaku.
“Ya. Pernahkah
kamu berada di suatu tempat tetapi kamu sebenarnya tidak benar-benar ada
disana? Seperti sekarang, kita berdua sedang berbicara, tetapi secara paradoks
kamu tidak benar-benar hadir di sini. Itu yang aku anggap sebagai kesadaran.”
Aku menyilangkan kedua
tanganku, berusaha mencerna apa yang Mail sampaikan kepadaku. “Bisakah kau
jelaskan hal ini lebih jauh?”
“Aku belum bisa
menjelaskannya secara komprehensif kepadamu sekarang. Mungkin aku akan
memberikan sedikit contoh metafora, sekarang coba bayangkan dirimu sedang mengemudi
sebuah kendaraan dengan kecepatan seratus kilometer per jam. Kemana kamu harus
memfokuskan kesadaranmu?”
“Aku akan
memfokuskan kesadaranku ke lingkungan sekitarku.”
“Sekarang
bayangkan dirimu berjalan kaki dari rumahmu ke sekolah misalnya. Kemana kamu
harus memfokuskan kesadaranmu?”
“Sama saja, aku
akan tetap memfokuskan kesadaranku ke lingkungan sekitarku. Apa sebenarnya yang
ingin kau sampaikan?”
“Ada perbedaan di
antara keduanya. Ketika kamu mengendarai kendaraan dengan kecepatan seratus kilometer
per jam kamu memfokuskan kesadaranmu ke lingkungan sekitar agar kamu tidak
mencelakai dirimu. Akibatnya, kamu luput menyadari hal-hal lain—seperti
keindahan dunia di sekitarmu. Kesadaranmu menyempit dan menjadi sebatas fungsional
belaka. Tetapi apabila kamu berjalan kaki, kesadaranmu menjadi lebih luas, kamu
akan menyadari suasana indah di sekelilingmu. Kamu akan menyadari betapa indahnya langit di
atas kepala kita ini, betapa sejuknya angin sepoi yang berhembus pelan mengelus
lembut kulitmu.”
“Aku belum paham,” potongku.
“Yashira, aku tidak
menuntutmu untuk langsung memahaminya. Cobalah berjalan ketika kamu pulang
nanti. Lima belas menit mungkin sudah cukup. Rasakan hal baru macam apa yang
kamu dapatkan kala itu.” Mail menenggak jusnya pelan, seolah memberi waktu
bagiku untuk mencerna kata-katanya.
Sekarang pikiranku semakin semrawut, banyak hal baru yang perlu aku pahami. Tapi apakah menjadi guru memang seberat dan sedalam itu secara filosofis? Atau dia menyampaikan hal ini bukan karena aku yang ingin menjadi guru, melainkan agar aku bisa menjalani hidup ini dengan jalan yang lebih baik? Pikiranku benar-benar terkuras.
Mungkin, langkah kakiku nanti yang
akan menjawabnya.
TTD-Ali Yasrif
Terimakasih Banyak Sudah Membaca.
ReplyDelete