Cita di Ujung Mimpi (Bagian-03) - Guru

Satu minggu berlalu semenjak kami mengantar Yashira ke UGD. Satu minggu yang bagiku terasa berjalan begitu lambat. Sunyi. Seolah waktu enggan bergerak.

Kini ia dirawat di ICU anak.

Diagnosis dokter menyatakan bahwa Yashira keracunan Karbon Monoksida sehingga mengalami gangguan pada saluran pernapasan. Ia sempat kehilangan kesadaran karena kurangnya oksigen yang tersuplai ke otak.

Yashira pingsan selama kurang lebih lima jam—jika kami hitung dari awal mula kebakaran meluas ke sepenjuru rumah susun. Sebagai orangtua, hal ini sangat menyayat hatiku. Melihat sang buah hati terkulai tak berdaya, dikerumuni oleh alat-alat yang aku sendiri tak hafal nama, maupun kegunaannya. Satu hal yang ku tahu: mereka sedang menjaga Yashira.

Rasa bersalah, tak pernah mau hilang dari dalam diriku. Berkali-kali aku menangis tersendu-sendu di pojok ruangan tempat aku serta istriku menginap. Hari-hari berlalu namun tak kunjung menyembuhkan barang se-inci sayatan yang terpatri dalam hatiku.

Benar, jika dikatakan bahwa kejadian ini sepenuhnya di luar kendaliku. Tetapi aku tidak bisa menjadikan kejadian ini sebagai alasan pembelaan terhadap kebodohan, kelalaian, serta keegoisanku yang terlalu besar.

Bagaimana caraku untuk membela diri? Anak semata wayangku hampir hilang dari dekapanku. Untuk selamanya. Tanpa pamit. Tanpa senyuman perpisahan.

Hari Senin malam, tanggal duapuluh dua bulan dua, istriku menyenderkan kepalanya ke bahuku—beristirahat. Kami duduk di bangku tunggu ruang ICU. Malam panjang nan sunyi berjalan layaknya tujuh malam yang lalu.

Aku mencoba untuk tetap tegar. Tapi malam ini adalah malam tak terlupakan keduaku.

Pukul satu pagi, suara yang tak pernah kudengar, suara yang menggetarkan jiwa, menaikkan bulu kuduk, menyentak udara dingin malam. Memenuhi ruangan ICU.

Dalam sekejap semua petugas kesehatan dan dokter bergegas mengambil peralatan mereka, berjejer—mengelilingi kasur seorang anak.

Rasa kantukku seketika menghilang, istriku tersentak bangun karena tubuhku terguncang. Aku berdiri, mendekatkan diri ke ruang ICU, semua jendela kini ditutup rapat oleh gorden. Sekilas aku melihat di kasur mana mereka berkerumun.

Tidak mungkin.

Posisi kasur itu adalah kasur Yashira. Apa yang terjadi? Bukankah tadi suara alarm dari monitor pasien?

"Kejang," bisik seorang suster yang melintas cepat di belakangku. "Oksigennya drop tiba-tiba."

Tubuhku mematung. Aku ingin menerobos masuk, ingin melakukan sesuatu—apa saja. Tapi kakiku berat, seolah ditambatkan oleh ketakutan paling dalam. Aku menelan ludah. Nafasku seperti tertahan. Dan di tengah kepanikan itu, aku sadar—belum sempat aku menyampaikan satu kalimat penting kepadanya.

Kalimat yang sudah berulang kali kuucap dalam hati, tapi belum pernah benar-benar kudengar keluar dari mulutku sendiri. Kalimat yang sederhana, tapi terlalu lama kutunda karena rasa malu, gengsi, atau kesibukan yang tak pernah benar-benar penting.

Aku mencintaimu, Nak.

Tapi bagaimana jika aku sudah terlambat? Suara mesin meningkat nadanya. Satu alarm berbunyi, lalu disusul yang lain. Para petugas bergantian memberi instruksi. Salah satu dokter menunduk, memberi isyarat kepada perawat lain. Ada yang menyebut “epinefrin.” Ada pula yang mencatat angka-angka pada layar monitor.

Waktu seperti berhenti.

Tapi tidak untuk mereka. Tidak untuk orang-orang yang sekarang berdiri di antara hidup dan matinya anakku.

Lalu, mendadak … sunyi. Bunyi mesin stabil. Tidak lagi melengking. Seorang dokter keluar dari ruangan. Wajahnya lelah, tapi matanya tenang.

“Kami berhasil menstabilkannya. Tapi … kita masih harus sangat hati-hati.”

Aku nyaris tak mendengar kata-kata terakhirnya. Seluruh tubuhku meluruh.

==============================================================================

“Mau berapa lama lagi kamu tetap diam seperti ini? Kalau bukan karena kamu yang membayar makan malam ini, sudah barang tentu aku akan meninggalkanmu dengan segala hal yang kamu pendam.”

Aku menatap kedua mata Mail.

“Jangan hanya menatap mataku! Aku bukan lukisan yang perlu kamu teliti dengan pandangan seperti itu.”

“Lusa aku akan pergi ke ibu kota,” jawabku singkat.

“Lalu?” Mail menjawab dengan ketus.

Aku diam. Lagi-lagi menatap kedua matanya. Lantunan musik mengalun pelan dari pengeras suara restoran seakan sengaja dipilih untuk mendramatisir percakapan kami.

“Hah, aku benar-benar kesal dibuatmu. Aku pergi saja, tak jadi aku makan enak malam ini.” Mail merapihkan barangnya bersiap untuk beranjak pergi. Gerakannya tergesa, seolah ingin segera menghapus keberadaannya dari hadapanku. Aku hanya menatapnya dalam diam.

“Selamat tinggal.” Mail berdiri dari duduknya.

“Kau benar-benar ingin meninggalkan daging panggang ini?” Aku mulai menggoda, mengangkat sepiring daging kehadapannya. Alis Mail mengerut, tapi sudut bibirnya terangkat setengah. Tangannya terhenti di ritsleting tas. Ia berdiri setengah hati, seperti lupa sedang marah. “Apakah kau rela meninggalkanku menghabiskan semua kenikmatan ini?”

“Terserah, hal itu sudah tidak mempan kepadaku.” Mail berjalan menjauh.

“Mail! Aku sudah membeli dua tiket pentas seni untuk hari esok.” Mail dikejauhan mematung. Memandangku dengan tatapan yang sangat tajam. Ia tidak melakukan apapun untuk beberapa detik—hanya memelototiku.

“Tunjukkan!”

Aku meraih kedua tiket pentas seni budaya yang akan dilaksanakan di alun-alun kota. Mail adalah penggemar berat hal-hal yang berkaitan dengan adat dan budaya, tak mungkin ia akan melewatkan kesempatan sekali enam bulan ini.

Mail berjalan perlahan kembali ke meja kami, dengan tatapan dan ekspresi kesal yang tak berubah di raut wajahnya. Tanpa sepatah kata pun, ia mengambil salah satu tiket dari genggamanku lalu kembali duduk.

“Aku sudah tidak bekerja di perusahaanku sebelumnya,” kataku pelan. “Lusa nanti, aku akan pergi menemui Fath.”

Tatapan Mail kini lembut, tak lagi meledak-ledak. Ia mulai menyendokkan makanan ke mulutnya pelan, tapi tak berpaling dariku. Seolah diamnya itu adalah cara memintaku terus bicara. Ia tetap menyantap makanan dihadapannya ketika aku bercerita. Lalu menyelaku, setelah aku menceritakan apa yang terjadi dalam perbincanganku dengan kedua orangtuaku.

“Papahmu hanya menasehati seperti itu?” Mail menyipitkan mata. Sudut kepalanya miring—seperti mencium kebohongan dari kejauhan.

“Iya, dia hanya memberiku nasehat seperti yang aku katakan tadi.”

“Kenapa papahmu tidak memintamu untuk mengambil jalur hukum, toh kamu berada di posisi yang benar, dan aku yakin kamu bisa membuktikan di pengadilan industrial bahwa kamu tidak bersalah. Lagi pula papahmu salah seorang yang berpengaruh di kota ini.”

“Kau salah. Untuk masalah pengadilan, aku sendiri tidak yakin bisa memenangkannya dengan cepat—melihat kondisi perusahaanku yang sangat tertutup dan memiliki sumber daya serta koneksi yang luar biasa. Lalu kau juga salah membawa-bawa papahku untuk menyelesaikan permasalahan ini, walaupun dia memiliki kuasa tapi dia tidak pernah menggunakannya untuk urusan pribadi.”

Mail mengangguk pelan, lalu menyendokkan makanan ke mulutnya, masih menatapku sejenak. “Hmm, baiklah .... Kalau kamu berkata begitu, dapat aku simpulkan kamu sudah memilih jalanmu selanjutnya. Jadi apa yang Fath tawarkan?”

“Menjadi guru di ibu kota,” jawabku singkat.

Mail langsung tersedak. Ia terbatuk kecil, buru-buru menenggak air dan menyeka mulut dengan tisu. Matanya menyipit kembali, bibirnya membentuk lengkungan mencurigakan.

“Tunggu … apa?” katanya, nyaris tertawa. “Kamu, jadi guru? Apakah Fath sedang bercanda?”

“Dia mengatakan bahwa aku pernah memberitahunya ketika menjadi pengurus Organisasi Siswa bahwa suatu saat nanti aku akan menjadi guru yang baik.”

Mail menatapku cukup lama, seakan tak percaya. “Seorang Yashira, berpikir bahwa dirinya akan menjadi seorang guru ketika SMP, wow. Ini adalah versi lain dirimu yang baru aku ketahui.” Mail tersenyum tipis. “Kalau begitu apalagi yang kamu permasalahkan?”

“Nah, inilah inti yang ingin aku bahas denganmu Il.” Aku menghela napas.

Tatapanku menancap dalam ke mata Mail, seperti mencoba menembus sesuatu yang selama ini hanya bisa kutebak-tebak.

“Bagaimana rasanya jadi guru, Il?” suaraku pelan. “Apa yang membuatmu tetap bertahan di jalan ini? Apa kira-kira yang mendorongmu—selain semangat ‘mulia’ itu?”

Aku berhenti sejenak, lalu menambahkan, lebih pelan. “Bukankah jadi guru ... bukan pilihan untuk mereka yang mengejar uang berlimpah?”

Mail menatapku dengan diam. “Pertanyaan menarik,” jawabnya singkat.

Waktu terus berjalan, namun Mail masih tetap diam dan hanya memandang wajahku. Sesekali ia memandang keluar jendela. Memerhatikan kesibukan tengah kota di kala sore. Setelah sekitar semenit berlalu, Mail mengelus jenggotnya.

“Kamu tahu, untuk menjawab pertanyaanmu. Aku memiliki tiga pertanyaan. Pertama, untuk apa kamu bekerja? Apakah kamu bekerja hanya agar kamu dapat bertahan hidup? Kedua, untuk apa kamu mengumpulkan segunung harta? Apakah kamu bisa memberikan manfaat lebih ketika kamu bergelimang harta dibanding ketika kamu cukup? Ketiga, untuk apa kamu hidup? Apakah kamu sudah menemukan tujuan pasti dari rutinitas kehidupan yang kamu jalani ini? Jawablah ketiga pertanyaanku ini terlebih dahulu.”

Aku berpikir lebih dalam. Pertanyaan yang diajukan Mail terbilang cukup rentan disalah artikan apabila aku asal menjawab. Kini aku yang memandang keluar jendela. Untuk apa aku bekerja? Tentu saja untuk bertahan hidup. Memangnya ada jawaban lebih logis dari sekedar bertahan hidup? Dan untuk apa menumpuk harta? Tentu saja agar aku tidak kesusasahan dalam menjalankan hidup ini. Memangnya ada orang yang kesusahan ketika ia memiliki harta berlimpah? Pertanyaan terakhir Mail, untuk apa aku hidup? Pertanyaan tersulit menurutku dibanding kedua pertanyaan sebelumnya. Untuk apa aku hidup? Hmm, sulit sekali.

Pertanyaan itu menggantung di kepalaku, seperti gema yang tak kunjung reda. Pikiranku semrawut. Rasanya seperti tersesat di lorong panjang tanpa cahaya. Aku mencoba berpikir lebih keras. Pertanyaan-pertanyaan ini sangat filosofis. Aku tidak mengira Mail akan mengajukan pertanyaan seperti ini kepadaku.

“Apakah kamu bisa menjawab ketiga pertanyaanku?”

“Pertama, sebagai seorang lelaki sudah barang tentu aku harus bekerja. Apakah hal itu hanya sekedar untuk bertahan hidup? Aku belum tahu pasti, tetapi aku saat ini berpikir bahwa memang pekerjaan adalah satu-satunya jalan agar kita para manusia bisa bertahan hidup. Kedua, kita semua tahu bahwa harta adalah satu-satunya kunci agar kita dapat hidup nyaman. Sejak dahulu kala, aku yakin hal itu tidak berubah. Karena tidak ada pertukaran yang bisa dilakukan apabila kau tidak memiliki apapun. Kebalikannya apabila kau memiliki banyak hal, kau bisa melakukan apapun. Ketiga, sayangnya aku belum bisa menjawab pertanyaan ketigamu.”

Aku menghela napas. “Tujuan? Apakah kita memang harus memiliki tujuan hidup yang heroik seperti yang dipropagandakan oleh mayoritas orang? Untuk apa hal itu kalau tidak memberikan kepada kita suatu keuntungan yang pasti, toh kita bisa hidup nyaman serta tenang dalam rutinitas kehidupan yang sedang kita jalani?”

Mail tersenyum tipis.

“Aku suka jawabanmu dalam beberapa artian. Ra, ketiga pertanyaan ini selalu terngiang di dalam diriku selama aku berada di profesi ini. Kamu tahu, jawabanku atas ketiganya tidak pernah tetap. Dalam tahun demi tahun yang berlalu, ia terus berkembang. Hingga akhirnya di sebuah titik balik dalam kehidupanku, aku menyimpulkan bahwa ini adalah perjalanan spiritual yang tak akan usai hanya saat kamu berenang di permukaannya saja.”

“Jadi, kau berusaha mengatakan bahwa aku tidak akan mengerti profesi ini kecuali apabila aku merasakan pengalaman langsung tentangnya.”

“Kurang lebih begitu,” jawab Mail singkat.

“Lalu bagaimana dengan pertanyaanku barusan?”

“Tujuan hidup.” Mail terdiam sesaat. “Untuk memahami satu hal ini—yang aku sendiri masih terus berusaha memahaminya—bagiku, harus diawali dengan kesadaran.”

“Kesadaran?” Keningku mengerut. Hal filosofis seperti apa lagi yang ingin Mail sampaikan kepadaku.

“Ya. Pernahkah kamu berada di suatu tempat tetapi kamu sebenarnya tidak benar-benar ada disana? Seperti sekarang, kita berdua sedang berbicara, tetapi secara paradoks kamu tidak benar-benar hadir di sini. Itu yang aku anggap sebagai kesadaran.”

Aku menyilangkan kedua tanganku, berusaha mencerna apa yang Mail sampaikan kepadaku. “Bisakah kau jelaskan hal ini lebih jauh?”

“Aku belum bisa menjelaskannya secara komprehensif kepadamu sekarang. Mungkin aku akan memberikan sedikit contoh metafora, sekarang coba bayangkan dirimu sedang mengemudi sebuah kendaraan dengan kecepatan seratus kilometer per jam. Kemana kamu harus memfokuskan kesadaranmu?”

“Aku akan memfokuskan kesadaranku ke lingkungan sekitarku.”

“Sekarang bayangkan dirimu berjalan kaki dari rumahmu ke sekolah misalnya. Kemana kamu harus memfokuskan kesadaranmu?”

“Sama saja, aku akan tetap memfokuskan kesadaranku ke lingkungan sekitarku. Apa sebenarnya yang ingin kau sampaikan?”

“Ada perbedaan di antara keduanya. Ketika kamu mengendarai kendaraan dengan kecepatan seratus kilometer per jam kamu memfokuskan kesadaranmu ke lingkungan sekitar agar kamu tidak mencelakai dirimu. Akibatnya, kamu luput menyadari hal-hal lain—seperti keindahan dunia di sekitarmu. Kesadaranmu menyempit dan menjadi sebatas fungsional belaka. Tetapi apabila kamu berjalan kaki, kesadaranmu menjadi lebih luas, kamu akan menyadari suasana indah di sekelilingmu. Kamu akan menyadari betapa indahnya langit di atas kepala kita ini, betapa sejuknya angin sepoi yang berhembus pelan mengelus lembut kulitmu.”

“Aku belum paham,” potongku.

“Yashira, aku tidak menuntutmu untuk langsung memahaminya. Cobalah berjalan ketika kamu pulang nanti. Lima belas menit mungkin sudah cukup. Rasakan hal baru macam apa yang kamu dapatkan kala itu.” Mail menenggak jusnya pelan, seolah memberi waktu bagiku untuk mencerna kata-katanya.

Sekarang pikiranku semakin semrawut, banyak hal baru yang perlu aku pahami. Tapi apakah menjadi guru memang seberat dan sedalam itu secara filosofis? Atau dia menyampaikan hal ini bukan karena aku yang ingin menjadi guru, melainkan agar aku bisa menjalani hidup ini dengan jalan yang lebih baik? Pikiranku benar-benar terkuras. 

Mungkin, langkah kakiku nanti yang akan menjawabnya.


TTD-Ali Yasrif

Comments

Post a Comment