Cita di Ujung Mimpi (Bagian-02) - Perubahan Kuanta

 

Aku tercengang, terpatung dalam sepersekian milidetik. Aku menjatuhkan semua kantong belanjaan di tanganku, segera berlari, sangat kencang, dengan segala tenaga yang aku punya, berlari menuju gedung yang mulai menyala terang dengan cahaya api, ini adalah pertaruhan yang sangat besar. Manusia berhamburan keluar dari rumah susun, mereka memenuhi segala sisi tangga. Tak peduli dengan keadaan sekitar aku memaksa maju, merangsek naik, bertabrakan dengan orang-orang yang sama paniknya denganku. Aku beradu dengan puluhan orang, yang saling menyikut tak karuan. Sesekali kepalaku terbentur dengan koper atau tas yang dibawa orang-orang turun kebawah. Tolonglah, Semoga aku tidak terlambat. Setibanya aku di lantai empat, asap dari sang jago merah mulai memenuhi atmosfer udara. Aku masih perlu menanjak setidaknya tiga lantai lagi, dengan segala kondisi yang ada. Aku tidak boleh menyerah. Lantai lima sudah sepi penghuni, begitupun lantai enam dan tujuh, tangganya-pun sudah tidak sepadat seperti tadi di lantai satu sampai lantai empat. Di satu sisi aku merasa bersyukur, hal ini bisa mempercepat langkahku, tetapi di sisi lain rasa ketakutanku semakin menjadi. Sang jago merah sudah meguasai dan membumi hanguskan sebagian besar lantai delapan dan sembilan, kini api itu menjalar secara vertikal menuju lantai tujuh.

Aku bergegas menuju ruangan tujuanku. Ruangan 735. Setelah membuka pintu ruangan, dadaku seperti dihantam balok besar. Anakku, Yashira, tergelatak tak sadarkan diri. Bodoh! Bodoh! Bodoh! kenapa kau tinggalkan anakmu sendirian di rumah ketika kau pergi berbelanja? Aku menghampirinya, mengecek nadinya. Mengetahui nadinya masih berdetak, rasa syukur terasa seperti angin sepoi yang sedikit menyegarkan perasaan dan pikiranku. Kini, kami harus segera turun, sebelum semua terlambat. Setelah kami melewati lantai lima, suara sirene membahana dari halaman tempat aku meninggalkan istriku. Aku berhasil keluar dengan cepat dari dalam gedung. Sayangnya suara sirene itu hanya berasal dari unit pemadam kebakaran, belum ada ambulans yang tersedia sekarang, dan mungkin kalaupun ada aku pikir akan memakan waktu untuk melewati kerumunan manusia yang terus bertambah dan memenuhi halaman. Aku putuskan untuk berlari, membawa anakku ke rumah sakit kelas C yang syukurnya hanya berjarak delapan ratus meter dari rumah susun ini. Istriku melihat kami, kami saling bertukar pandang sejenak, aku melihat matanya sudah bengkak karena terus menangis selama penantian. Melihatku melanjutkan lari tanpa menghampirinya, istriku mulai mengikuti kami dari belakang. Saat ini tidak ada yang lebih penting dari kesalamatan anakku. Aku sudah tidak peduli apabila seluruh barang berharga yang telah kami usahakan selama hidup kami lenyap seketika malam ini, hanya ada satu harapan yang melintas dalam benakku, setidaknya ya… setidaknya anak semata wayang kami bisa selamat.

===================================================================================

“Pah, kemarin aku dipecat.” Dari semalam saat aku tiba di kediaman orangtuaku, aku belum menjelaskan kedatanganku dengan jujur, saat makan malam bersama aku belum berani mengutarakan hal ini. Kemarin malam terasa sangat panjang untukku, aku berusaha mengumpulkan keberanian dan meniti kata-kata agar tidak mengecewakan mereka. Jadi kini saat kami berkumpul lagi guna sarapan, aku mengutarakan keadaan terkiniku kepada mereka berdua setelah melakukan refleksi yang aku rasa cukup.

“Dari persusahaan kontruksi itu?” Papahku tetap menyendok bubur oat di mangkok dengan sedikit mengangkat alisnya, melirik diriku dalam sepersekian detik. Lalu fokus lagi dengan buburnya.

“Iya pah. Walaupun sebenarnya, sampai sekarang aku belum mengetahui alasan di balik pemecatan tiba-tiba diriku. Menurut asumsi dan praduga yang aku miliki, mungkin ini semua terjadi karena adanya perebutan kepentingan pribadi para atasanku, dan entah mengapa aku terdampak.” Aku mencoba mencurahkan apa yang menumpuk di dalam hatiku.

“Ada buktinya?” Seperti sebelumnya ia seperti acuh tak acuh terhadap pengakuan yang sedang aku sampaikan ini. Mamah-pun hanya diam sembari menyantap sarapannya, ia hanya menyimak kami dengan seksama.

“Tentu saja, rekam kerjaku bisa dibaca di dalam laporan yang telah aku buat. Aku sangat yakin dan tidak takut apabila mereka membawa laporanku untuk diperiksa serta disinkronkan dengan data dari bagian lain. Aku tidak memanipulasi apapun seperti yang mereka tuduhkan Pah. Untuk apa juga aku memanipulasi keuangan, toh aku sudah tercukupi dengan gaji yang mereka berikan kepadaku.” Aku mulai terbawa suasana, hatiku memanas, pikiran-pikiran buruk tentang para atasan dan orang-orang yang bekerja di perusahaan tersebut kembali membanjiri diriku layaknya debit air sungai yang bertambah ketika menerima kiriman dari dataran tinggi di kala hujan.

“Bukan. Maksud papah, apakah asumsi dan pradugamu memiliki dasar yang kokoh? Tentang atasanmu itu.” Papahku kini memandang kedua mataku. Aku terdiam, berpikir, mencoba mereka ulang. “Sepertinya tidak ada. Lagi-lagi kau tidak mengigat pesan papah dan mamahmu.” Papah kembali menyantap sarapannya. Suasana hening menyelimuti ruang makan, aku merasa suasana ini akan berubah menjadi suasana yang tidak mengenakkan.

“Apa pelajaran yang kami sampaikan kepadamu mengenai hal ini? Apakah kau masih mengingatnya duhai anak semata wayangku?” Papah kembali mengajukan pertanyaan setelah menyendok suapan terakhirnya.

“Jangan memperbanyak praduga dan pikiran negatif. Tetapi pah, secara logis aku tidak memiliki kesalahan apapun, sudah jelas kalau sekarang aku difitnah oleh mereka. Walaupun aku tidak memiliki bukti, sudah sangat jelas kalau aku dijadikan kambing hitam dalam percaturan mereka.”

“Tenangkan dirimu sejenak anakku.” Papah melipat kedua tangannya menyilang diatas meja. “Ini mungkin peristiwa yang akan sangat menyakiti dirimu. Berbekas. Menghancurkan semangatmu. Sungguh apabila pradugamu benar dan kau yang dikhianati, kebusukan itu akan menunjukkan dirinya sendiri. Tetapi pernahkah kau bayangkan apabila praduga itu tidak bisa kau buktikan dan kau tidak bisa mengadukannya kepada siapapun selain kepada kedua orangtuamu ini, lalu sepanjang hari, minggu dan bulan yang berlalu kau tetap kalut, tenggelam dalam permasalahan yang sebenarnya sudah beres saat kau melangkahkan kakimu keluar dari barisan mereka. Hal negatif itu menggerogoti dirimu nak, perlahan namun pasti seperti rayap yang melubangi lambung kayu kapal, sedikit demi sedikit dia berkembang dan tanpa terasa saat kau berlayar ditengah samudera nan amat luas terjadilah kebocoran yang tidak pernah kau bayangkan, kau akan tenggelam di sana, di tengah samudera tanpa seorang pun dapat menolongmu. Akhirnya kau merugikan dirimu seorang dan mungkin beberapa orang disekitarmu yang kau ajak berlayar bersamamu.”

“Papah tidak mengajarkanmu untuk pasrah apabila kau ditindas, dikhianati, dan hal serupa lainnya, yang ingin papah sampaikan adalah jangan pernah membiarkan pikiran burukmu menguasaimu, karena dia akan menjadi magnet yang akan mendatangkan hal buruk lainnya. Kau tahu kenapa orang yang sering mengumpat, bersumpah serapah terhadap hal-hal yang bahkan dapat dikatakan remeh temeh dan tidak bernilai seakan-akan selalu mendapatkan hal yang tidak menyenangkan bagi dirinya, sedangkan orang yang merasa bersyukur seakan-akan selalu mendapatkan hal menyenangkan bagi dirinya walaupun hal itu pun hal-hal yang sederhana. Ya. Karena magnet pikiran tersebut. Cara berpikir mempengaruhi persepsi, keputusan, dan perilaku, yang pada akhirnya membentuk realitas kita. Ketahuilah bahwa kau sedang berada di posisi dimana kau mengalami seleksi alam, dan kau mendapatkan hasil dengan nilai cukup baik dan dikeluarkan dari barisan yang tidak sesuai dengan jiwa serta kepribadianmu. Tetaplah pertahankan nilai itu, jangan terpengaruhi. Apa ada hal lain yang ingin kau utarakan?”

Aku berpikir sejenak, sebenarnya ada banyak hal yang ingin aku utarakan kepada mereka berdua, dua orang mentor sekaligus guru kehidupanku. Aku butuh masukan yang dapat memberikan aku pencerahan. “Sebenarnya yang membuatku semakin terbawa emosi, karena Alden juga dipecat Pah. Aku bingung bagaimana cara agar aku dapat membantunya.”

“Bagaimana kabar adiknya?”

“Luna sedang melanjutkan studi pascasarjana di ibu kota dengan beasiswa dari negara, dan sembari belajar ia juga mengajar di sekolah dasar swasta.”

“Jadi Luna sudah tidak termasuk dalam beban tanggungjawab Alden bukan?”

“Iya pah, tetapi terkadang Alden masih memberikan sebagian penghasilannya untuk Luna.”

“Ra, kau adalah teman Alden semenjak kalian masih duduk dibangku sekolah dasar, kau sering berkunjung ke rumahnya bahkan hingga saat ini. Sekarang pertanyaan papah, apakah kau merasa bahwa terdapat hal yang berbeda di keluarga mereka, seakan-akan terjadi sebuah lompatan? Coba pikirkan deh, papah ingin mendengar penjelasanmu. Kalau papah tidak salah, Luna mendapatkan beasiswa dari negara untuk menuntaskan bangku kuliah sarjana, bukan begitu?”

Aku termenung cukup lama, menundukkan kepalaku, mencoba mengingat-ngingat. Lompatan? Apakah yang dimaksud papah adalah kondisi keluarga mereka yang berubah ketika Alden mulai bekerja atau akselarisasi yang terjadi ketika Luna mendapatkan beasiswa untuk kuliah? 

“Sepertinya memang ada banyak hal berubah semenjak awal kami berteman. Bisa dikatakan sebuah lompatan yang mendadak seperti yang Papah bilang tadi. Dua tahun semenjak Alden mulai bekerja, menurutku dalam kacamata perekonomian, kehidupan mereka mulai berubah menjadi lebih baik perlahan tapi sangat terlihat. Lalu setahun kemudian Luna yang ternyata sangat cerdas dan selalu mendapat peringkat atas di kala SMA mendapatkan beasiswa dari negara untuk melanjutkan sekolah ke bangku kuliah. Dan kini mereka bahkan sudah tidak tinggal di rumah masa kecil Alden yang dapat dikatakan terletak di daerah yang berbanding terbalik dengan kegemerlapan perkotaan.” 

Aku terdiam, sedari kecil  akulah saksi hidup yang selalu hadir di kediaman mereka, bagaimana hal ini bisa luput dari pengamatanku? Sudah banyak perubahan yang terjadi di keluarga Alden semenjak kami duduk di sekolah dasar.

“Kau benar, tetapi ada beberapa hal yang harus Papah luruskan, itu bukan lompatan yang terjadi secara tiba-tiba, itu adalah akumulasi dari keikhlasan dan kesyukuran mereka selama menjalankan hidup. Pikiran mereka tidak dipenuhi dengan apa yang tidak mereka miliki, mereka memfokuskan pikiran mereka dengan apa yang mereka miliki sehingga pikiran negatif dan hal negatif tidak bersarang dalam hati maupun pikiran mereka. Ketahuilah bahwa perang terbesar dalam hidup ini adalah perang melawan diri kita sendiri. Ketika kau bisa mengendalikan dirimu, niscaya kau akan mendapatkan dirimu berada di jalan yang benar untuk terus meningkat. Karenanya, ini bukan hanya soal materi fisik yang baru kau sampaikan, ini bukan soal mereka yang sudah tidak tinggal di rumah mereka sebelumnya. Tetapi bagaimana kita tidak boleh hanya memaknai hidup ini sekedar materi fisik dan realitas yang dapat kau lihat dan raba belaka. Seakan-akan tidak ada hal diluar segala sesuatu yang dapat kita indera. Andai kau tahu, ada sebuah teori yang mengatakan bahwa di level kuanta seluruh realitas menjadi satu kesatuan terselubung yang saling terhubung. Sehingga dapat dikatakan bahwa energi positif dapat ‘meningkatkan’ getaran atau resonansi kuantum dalam tubuh. Yang pada akhirnya kembali kepada nasehat papah di awal, ia akan menjadi magnet terhadap hal positif lainnya. Pikirkanlah kalau masih ragu berdiskusilah dengan mamahmu, papah ada rapat dengan beberapa kolega, harus segera bersiap.” Papah berdiri, meninggalkanku dan mamah di meja makan. Berjalan kembali ke ruangannya.

“Tidak apa-apa nak, kau masih dapat mencari pekerjaan setelah ini, dan Alden pun begitu. Kau bisa tinggal bersama kami selama yang kau inginkan. Semoga kau bisa cepat bekerja kembali dan medapatkan pekerjaan yang diberkati. Apa gerangan rencanamu setelah ini?”

“Aku akan mencoba untuk pergi ke ibu kota Mah, aku memiliki seorang teman di sana, bisa dikatakan sebuah kebetulan, sebulan lalu dia mengontakku, perusahaannya sedang membutuhkan pegawai yang sesuai dengan bidang dan keahlianku. Tapi kemarin aku menolaknya karena aku masih bekerja, kini aku akan mencoba mengontaknya ulang, kalau-kalau posisi itu masih kosong.”

“Syukurlah, mungkin ini jalan baru yang dimaksud papahmu tadi. Semoga saja masih ada posisi yang kosong untukmu, lelaki kecilku.” Mamah merapihkan meja makan lalu pergi meninggalkan aku sendiri dengan bubur oat ku.

Ya, mungkin ini jalan baru yang perlu aku tata kembali. Aku harus segera menghubungi Fath untuk menanyakan lowongan yang tempo hari ia tawarkan. Aku dan Fath mulai berteman saat kami duduk di kelas delapan SMP, tepatnya saat kami berdua menjadi anggota perpustakaan. Fath memiliki minat membaca yang cukup tinggi, setiap istirahat dan akhir pelajaran ia tidak lupa mampir ke perpustakaan. Semenjak kelas tujuh, aku sering menemukannya di pojok ruangan, membenamkan wajahnya di buku-buku sejarah berbagai peradaban. Terkadang ia juga membaca kumpulan puisi dan cerita pendek. Sayangnya di perpustakaan kami tidak ada novel fantasi ataupun novel mengenai percintaan. Jadi aku lebih sering membaca buku mengenai peningkatan diri dan terkadang hanya melihat buku ilmu alam yang berbentuk komik. Ketika itu aku belum terlalu tertarik dengan hal-hal yang membebani pikiran, toh aku masih muda. Sepulang sekolah, berbeda dengan Fath yang akan kembali ke perpustakaan, aku pergi dengan anak klub olahraga menuju lapangan ataupun gedung olahraga.

Sebenarnya, saat duduk di kelas tujuh aku menghindari Fath, karena aku merasa dia adalah seorang kutu buku yang anti sosial. Bayangkan saja, dia tidak pernah absen dari perpustakaan, seakan-akan kita hidup di dunia ini hanya untuk membaca. Aku sama sekali tidak pernah membuka percakapan dengannya, hingga disaat kami bertemu sebagai delegasi sekolah untuk mengikuti lomba cerdas cermat di tingkat kota. Saat itu aku bertemu dengan seseorang yang sangat berbeda dengan bayanganku selama ini. Fath adalah anak pintar yang sangat suka bercerita dan humoris. Tak terhitung sudah aku dibuat tergelak oleh cerita yang ia sampaikan kepadaku. Bukan hanya itu dia adalah murid peringkat pertama di kelas, bahkan banyak pelajaran yang dia jauh lebih unggul dariku. Ia juga termasuk ke dalam nominasi ketua kelas terfavorit versi Organisasi Siswa. Benarlah pepatah yang mengatakan, jangan menilai seseorang hanya dari penampilan luarnya saja.

Seusai menjadi delegasi dalam lomba cerdas cermat tersebut, aku dan Fath menjadi teman yang saling bergantian menceritakan hasil bacaan kami di perpustakaan. Lagi-lagi aku dibuat terkejut dengan penguasaannya dalam mengekspresikan apa yang terbenak dalam hati dan pikiran. Dia sama sekali tidak ragu dalam menyampaikan hasil bacaannya. Kala itu terlintaslah dalam benakku, bahwa Fath adalah sosok ideal yang perlu aku contoh.

Aku bergegas menghabiskan sisa sarapanku. Hari ini aku harus mencoba menghubungi Fath. Tak sampai semenit aku menghubunginya, Fath menerima teleponku. “Fath bagaimana kabarmu? Apakah lowongan kerja yang kau tawarkan kepadaku tempo hari masih berlaku?” 

“Baik Ra, bagaimana denganmu? Sayangnya untuk lowongan kerja yang pernah aku tawarkan kepadamu tempo hari sudah tidak berlaku lagi. Kenapa kau tiba-tiba menanyakan hal itu, bukankah kau bilang kontrakmu masih panjang dengan perusahaan kontruksi itu?” Aku terkejut dengan jawaban yang diberikan oleh Fath dari ujung lain telpon. Ekspektasiku yang tinggi segara jatuh terjun bebas dari langit.

“Hm, aku dalam keadaan baik Fath, tetapi baru saja aku dipecat dari pekerjaanku. Karenanya aku teringat dengan tawaran pekerjaan darimu. Tetapi kalau memang sudah tidak ada, mau bagaimana lagi?”

“Jadi sekarang kau sedang tidak berada dibawah perusahaan apapun?”

“Iya Fath, baru saja.”

“Maaf Ra, tolong ingatkan aku kembali, apakah kau pernah tertarik menjadi seorang guru?”

“Guru?”

“Iya guru, memang tidak sesuai dengan gelar kesarjanaanmu, tetapi aku bisa memberikanmu rekomendasi untuk bekerja di salah satu institusi yang cukup tersohor di ibu kota. Sebenarnya aku juga mengajar di institusi tersebut sebagai guru undangan.”

“Tunggu dulu, ini adalah tawaran pekerjaan yang bahkan tidak pernah terlintas dalam pikiranku sepuluh tahun terakhir. Aku merasa agak canggung untuk menjawab pertanyaanmu. Aku ingin balik bertanya, kapan kiranya aku mengatakan bahwa aku ingin menjadi seorang guru?”

“Dahulu kala, ketika sang bangsawan sedang menguasai kota. Kau berkelana dengan para pengembala kambing sambil menyampaikan kepada mereka bahwa para penguasa tak lebihnya dari seorang tiran yang hanya cocok ditempatkan di dalam perut bumi yang terdalam.”

“Benarkah? Aku pernah mengatakan itu kepadamu saat kita menjadi pengurus Organisasi Siswa?”

 “Ayolah, cukup jawab, mau atau tidak? Kalau kau mau, segeralah bertandang ke rumahku di ibu kota. Aku akan membantumu untuk melamar kerja. Oh ya, kapan kau akan menikah?”

“Pertanyaan macam apa itu? Jangan mentang-mentang kau sudah menikah lantas ingin merendahkan diriku yang masih berjuang mencari penghidupan ini.”

“Bukan begitu, sang bidadari sudah mulai melirikmu, kenapa kau belum kunjung menyadarinya?”

 “Fath aku akan datang ke kediamanmu tiga hari yang akan datang. Mari kita berdiskusi lebih intens mengenai profesi guru ini. Terimakasih banyak Fath.” Aku mematikan teleponku, jika aku membiarkan Fath membalas ucapanku, dia akan terus menerus menggodaku mengenai pernikahan.

Guru? Mungkinkah guru adalah jalan baruku? Tapi pantaskah aku untuk menjadi seorang guru? Seseorang yang pasti di gugu dan di tiru dalam setiap ucapan dan perilakunya, seseorang yang mendedikasikan hidupnya demi para siswanya, seseorang yang tak pernah lepas dari memegang nilai-nilai yang sakral. Apakah aku sanggup untuk memikul itu semua? Bagaimana mungkin aku seorang bujang dapat mengurus anak-anak, toh aku belum menikah, apalagi memiliki anak? Aku perlu berpikir lebih dalam sebelum pergi ke ibu kota dan bertemu dengan Fath.


Besambung.



TTD-Ali Yasrif

Comments

Post a Comment