Aku tercengang, terpatung dalam sepersekian milidetik. Aku menjatuhkan semua kantong belanjaan di tanganku, segera berlari, sangat kencang, dengan segala tenaga yang aku punya, berlari menuju gedung yang mulai menyala terang dengan cahaya api, ini adalah pertaruhan yang sangat besar. Manusia berhamburan keluar dari rumah susun, mereka memenuhi segala sisi tangga. Tak peduli dengan keadaan sekitar aku memaksa maju, merangsek naik, bertabrakan dengan orang-orang yang sama paniknya denganku. Aku beradu dengan puluhan orang, yang saling menyikut tak karuan. Sesekali kepalaku terbentur dengan koper atau tas yang dibawa orang-orang turun kebawah. Tolonglah, Semoga aku tidak terlambat. Setibanya aku di lantai empat, asap dari sang jago merah mulai memenuhi atmosfer udara. Aku masih perlu menanjak setidaknya tiga lantai lagi, dengan segala kondisi yang ada. Aku tidak boleh menyerah. Lantai lima sudah sepi penghuni, begitupun lantai enam dan tujuh, tangganya-pun sudah tidak sepadat seperti tadi di lantai satu sampai lantai empat. Di satu sisi aku merasa bersyukur, hal ini bisa mempercepat langkahku, tetapi di sisi lain rasa ketakutanku semakin menjadi. Sang jago merah sudah meguasai dan membumi hanguskan sebagian besar lantai delapan dan sembilan, kini api itu menjalar secara vertikal menuju lantai tujuh.
Aku bergegas menuju ruangan tujuanku. Ruangan 735. Setelah membuka pintu ruangan, dadaku seperti dihantam balok besar. Anakku, Yashira, tergelatak tak sadarkan diri. Bodoh! Bodoh! Bodoh! kenapa kau tinggalkan anakmu sendirian di rumah ketika kau pergi berbelanja? Aku menghampirinya, mengecek nadinya. Mengetahui nadinya masih berdetak, rasa syukur terasa seperti angin sepoi yang sedikit menyegarkan perasaan dan pikiranku. Kini, kami harus segera turun, sebelum semua terlambat. Setelah kami melewati lantai lima, suara sirene membahana dari halaman tempat aku meninggalkan istriku. Aku berhasil keluar dengan cepat dari dalam gedung. Sayangnya suara sirene itu hanya berasal dari unit pemadam kebakaran, belum ada ambulans yang tersedia sekarang, dan mungkin kalaupun ada aku pikir akan memakan waktu untuk melewati kerumunan manusia yang terus bertambah dan memenuhi halaman. Aku putuskan untuk berlari, membawa anakku ke rumah sakit kelas C yang syukurnya hanya berjarak delapan ratus meter dari rumah susun ini. Istriku melihat kami, kami saling bertukar pandang sejenak, aku melihat matanya sudah bengkak karena terus menangis selama penantian. Melihatku melanjutkan lari tanpa menghampirinya, istriku mulai mengikuti kami dari belakang. Saat ini tidak ada yang lebih penting dari kesalamatan anakku. Aku sudah tidak peduli apabila seluruh barang berharga yang telah kami usahakan selama hidup kami lenyap seketika malam ini, hanya ada satu harapan yang melintas dalam benakku, setidaknya ya… setidaknya anak semata wayang kami bisa selamat.
===================================================================================
“Pah, kemarin aku dipecat.” Dari semalam saat aku tiba di kediaman orangtuaku, aku belum menjelaskan kedatanganku dengan jujur, saat makan malam bersama aku belum berani mengutarakan hal ini. Kemarin malam terasa sangat panjang untukku, aku berusaha mengumpulkan keberanian dan meniti kata-kata agar tidak mengecewakan mereka. Jadi kini saat kami berkumpul lagi guna sarapan, aku mengutarakan keadaan terkiniku kepada mereka berdua setelah melakukan refleksi yang aku rasa cukup.
“Dari persusahaan kontruksi itu?”
Papahku tetap menyendok bubur oat di mangkok dengan sedikit mengangkat alisnya,
melirik diriku dalam sepersekian detik. Lalu fokus lagi dengan buburnya.
“Iya pah. Walaupun sebenarnya, sampai
sekarang aku belum mengetahui alasan di balik pemecatan tiba-tiba diriku. Menurut
asumsi dan praduga yang aku miliki, mungkin ini semua terjadi karena adanya
perebutan kepentingan pribadi para atasanku, dan entah mengapa aku terdampak.”
Aku mencoba mencurahkan apa yang menumpuk di dalam hatiku.
“Ada buktinya?” Seperti sebelumnya
ia seperti acuh tak acuh terhadap pengakuan yang sedang aku sampaikan ini.
Mamah-pun hanya diam sembari menyantap sarapannya, ia hanya menyimak kami
dengan seksama.
“Tentu saja, rekam kerjaku bisa
dibaca di dalam laporan yang telah aku buat. Aku sangat yakin dan tidak takut apabila
mereka membawa laporanku untuk diperiksa serta disinkronkan dengan data dari
bagian lain. Aku tidak memanipulasi apapun seperti yang mereka tuduhkan Pah.
Untuk apa juga aku memanipulasi keuangan, toh aku sudah tercukupi dengan gaji yang
mereka berikan kepadaku.” Aku mulai terbawa suasana, hatiku memanas,
pikiran-pikiran buruk tentang para atasan dan orang-orang yang bekerja di
perusahaan tersebut kembali membanjiri diriku layaknya debit air sungai yang
bertambah ketika menerima kiriman dari dataran tinggi di kala hujan.
“Bukan. Maksud papah, apakah asumsi
dan pradugamu memiliki dasar yang kokoh? Tentang atasanmu itu.” Papahku kini
memandang kedua mataku. Aku terdiam, berpikir, mencoba mereka ulang.
“Sepertinya tidak ada. Lagi-lagi kau tidak mengigat pesan papah dan mamahmu.”
Papah kembali menyantap sarapannya. Suasana hening menyelimuti ruang makan, aku
merasa suasana ini akan berubah menjadi suasana yang tidak mengenakkan.
“Apa pelajaran yang kami sampaikan
kepadamu mengenai hal ini? Apakah kau masih mengingatnya duhai anak semata
wayangku?” Papah kembali mengajukan pertanyaan setelah menyendok suapan
terakhirnya.
“Jangan memperbanyak praduga dan
pikiran negatif. Tetapi pah, secara logis aku tidak memiliki kesalahan apapun,
sudah jelas kalau sekarang aku difitnah oleh mereka. Walaupun aku tidak
memiliki bukti, sudah sangat jelas kalau aku dijadikan kambing hitam dalam
percaturan mereka.”
“Tenangkan dirimu sejenak anakku.” Papah melipat kedua tangannya menyilang diatas meja. “Ini mungkin peristiwa yang akan sangat menyakiti dirimu. Berbekas. Menghancurkan semangatmu. Sungguh apabila pradugamu benar dan kau yang dikhianati, kebusukan itu akan menunjukkan dirinya sendiri. Tetapi pernahkah kau bayangkan apabila praduga itu tidak bisa kau buktikan dan kau tidak bisa mengadukannya kepada siapapun selain kepada kedua orangtuamu ini, lalu sepanjang hari, minggu dan bulan yang berlalu kau tetap kalut, tenggelam dalam permasalahan yang sebenarnya sudah beres saat kau melangkahkan kakimu keluar dari barisan mereka. Hal negatif itu menggerogoti dirimu nak, perlahan namun pasti seperti rayap yang melubangi lambung kayu kapal, sedikit demi sedikit dia berkembang dan tanpa terasa saat kau berlayar ditengah samudera nan amat luas terjadilah kebocoran yang tidak pernah kau bayangkan, kau akan tenggelam di sana, di tengah samudera tanpa seorang pun dapat menolongmu. Akhirnya kau merugikan dirimu seorang dan mungkin beberapa orang disekitarmu yang kau ajak berlayar bersamamu.”
“Papah tidak mengajarkanmu untuk pasrah apabila kau ditindas, dikhianati, dan hal serupa lainnya, yang ingin papah sampaikan adalah jangan pernah membiarkan pikiran burukmu menguasaimu, karena dia akan menjadi magnet yang akan mendatangkan hal buruk lainnya. Kau tahu kenapa orang yang sering mengumpat, bersumpah serapah terhadap hal-hal yang bahkan dapat dikatakan remeh temeh dan tidak bernilai seakan-akan selalu mendapatkan hal yang tidak menyenangkan bagi dirinya, sedangkan orang yang merasa bersyukur seakan-akan selalu mendapatkan hal menyenangkan bagi dirinya walaupun hal itu pun hal-hal yang sederhana. Ya. Karena magnet pikiran tersebut. Cara berpikir mempengaruhi persepsi, keputusan, dan perilaku, yang pada akhirnya membentuk realitas kita. Ketahuilah bahwa kau sedang berada di posisi dimana kau mengalami seleksi alam, dan kau mendapatkan hasil dengan nilai cukup baik dan dikeluarkan dari barisan yang tidak sesuai dengan jiwa serta kepribadianmu. Tetaplah pertahankan nilai itu, jangan terpengaruhi. Apa ada hal lain yang ingin kau utarakan?”
Aku berpikir sejenak, sebenarnya ada
banyak hal yang ingin aku utarakan kepada mereka berdua, dua orang mentor
sekaligus guru kehidupanku. Aku butuh masukan yang dapat memberikan aku
pencerahan. “Sebenarnya yang membuatku semakin terbawa emosi, karena Alden juga
dipecat Pah. Aku bingung bagaimana cara agar aku dapat membantunya.”
“Bagaimana kabar adiknya?”
“Luna sedang melanjutkan studi
pascasarjana di ibu kota dengan beasiswa dari negara, dan sembari belajar ia
juga mengajar di sekolah dasar swasta.”
“Jadi Luna sudah tidak termasuk
dalam beban tanggungjawab Alden bukan?”
“Iya pah, tetapi terkadang Alden
masih memberikan sebagian penghasilannya untuk Luna.”
“Ra, kau adalah teman Alden semenjak
kalian masih duduk dibangku sekolah dasar, kau sering berkunjung ke rumahnya
bahkan hingga saat ini. Sekarang pertanyaan papah, apakah kau merasa bahwa
terdapat hal yang berbeda di keluarga mereka, seakan-akan terjadi sebuah
lompatan? Coba pikirkan deh, papah ingin mendengar penjelasanmu. Kalau papah
tidak salah, Luna mendapatkan beasiswa dari negara untuk menuntaskan bangku
kuliah sarjana, bukan begitu?”
Aku termenung cukup lama, menundukkan kepalaku, mencoba mengingat-ngingat. Lompatan? Apakah yang dimaksud papah adalah kondisi keluarga mereka yang berubah ketika Alden mulai bekerja atau akselarisasi yang terjadi ketika Luna mendapatkan beasiswa untuk kuliah?
“Sepertinya memang ada banyak hal berubah semenjak awal kami berteman. Bisa dikatakan sebuah lompatan yang mendadak seperti yang Papah bilang tadi. Dua tahun semenjak Alden mulai bekerja, menurutku dalam kacamata perekonomian, kehidupan mereka mulai berubah menjadi lebih baik perlahan tapi sangat terlihat. Lalu setahun kemudian Luna yang ternyata sangat cerdas dan selalu mendapat peringkat atas di kala SMA mendapatkan beasiswa dari negara untuk melanjutkan sekolah ke bangku kuliah. Dan kini mereka bahkan sudah tidak tinggal di rumah masa kecil Alden yang dapat dikatakan terletak di daerah yang berbanding terbalik dengan kegemerlapan perkotaan.”
Aku terdiam, sedari kecil akulah saksi hidup yang
selalu hadir di kediaman mereka, bagaimana hal ini bisa luput dari pengamatanku?
Sudah banyak perubahan yang terjadi di keluarga Alden semenjak kami duduk di
sekolah dasar.
“Kau benar, tetapi ada beberapa hal
yang harus Papah luruskan, itu bukan lompatan yang terjadi secara tiba-tiba,
itu adalah akumulasi dari keikhlasan dan kesyukuran mereka selama menjalankan
hidup. Pikiran mereka tidak dipenuhi dengan apa yang tidak mereka miliki,
mereka memfokuskan pikiran mereka dengan apa yang mereka miliki sehingga
pikiran negatif dan hal negatif tidak bersarang dalam hati maupun pikiran
mereka. Ketahuilah bahwa perang terbesar dalam hidup ini adalah perang melawan
diri kita sendiri. Ketika kau bisa mengendalikan dirimu, niscaya kau akan
mendapatkan dirimu berada di jalan yang benar untuk terus meningkat. Karenanya,
ini bukan hanya soal materi fisik yang baru kau sampaikan, ini bukan soal
mereka yang sudah tidak tinggal di rumah mereka sebelumnya. Tetapi bagaimana
kita tidak boleh hanya memaknai hidup ini sekedar materi fisik dan realitas yang
dapat kau lihat dan raba belaka. Seakan-akan tidak ada hal diluar segala
sesuatu yang dapat kita indera. Andai kau tahu, ada sebuah teori yang
mengatakan bahwa di level kuanta seluruh realitas menjadi satu kesatuan
terselubung yang saling terhubung. Sehingga dapat dikatakan bahwa energi
positif dapat ‘meningkatkan’ getaran atau resonansi kuantum dalam tubuh. Yang
pada akhirnya kembali kepada nasehat papah di awal, ia akan menjadi magnet
terhadap hal positif lainnya. Pikirkanlah kalau masih ragu berdiskusilah dengan
mamahmu, papah ada rapat dengan beberapa kolega, harus segera bersiap.” Papah
berdiri, meninggalkanku dan mamah di meja makan. Berjalan kembali ke ruangannya.
“Tidak apa-apa nak, kau masih dapat
mencari pekerjaan setelah ini, dan Alden pun begitu. Kau bisa tinggal bersama
kami selama yang kau inginkan. Semoga kau bisa cepat bekerja kembali dan
medapatkan pekerjaan yang diberkati. Apa gerangan rencanamu setelah ini?”
“Aku akan mencoba untuk pergi ke ibu
kota Mah, aku memiliki seorang teman di sana, bisa dikatakan sebuah kebetulan, sebulan lalu dia mengontakku, perusahaannya
sedang membutuhkan pegawai yang sesuai dengan bidang dan keahlianku. Tapi
kemarin aku menolaknya karena aku masih bekerja, kini aku akan mencoba
mengontaknya ulang, kalau-kalau posisi itu masih kosong.”
“Syukurlah, mungkin ini jalan baru
yang dimaksud papahmu tadi. Semoga saja masih ada posisi yang kosong untukmu,
lelaki kecilku.” Mamah merapihkan meja makan lalu pergi meninggalkan aku
sendiri dengan bubur oat ku.
Ya, mungkin ini jalan baru yang
perlu aku tata kembali. Aku harus segera menghubungi Fath untuk menanyakan
lowongan yang tempo hari ia tawarkan. Aku dan Fath mulai berteman saat kami duduk
di kelas delapan SMP, tepatnya saat kami berdua menjadi anggota perpustakaan. Fath
memiliki minat membaca yang cukup tinggi, setiap istirahat dan akhir pelajaran
ia tidak lupa mampir ke perpustakaan. Semenjak kelas tujuh, aku sering
menemukannya di pojok ruangan, membenamkan wajahnya di buku-buku sejarah
berbagai peradaban. Terkadang ia juga membaca kumpulan puisi dan cerita pendek.
Sayangnya di perpustakaan kami tidak ada novel fantasi ataupun novel mengenai
percintaan. Jadi aku lebih sering membaca buku mengenai peningkatan diri dan
terkadang hanya melihat buku ilmu alam yang berbentuk komik. Ketika itu aku
belum terlalu tertarik dengan hal-hal yang membebani pikiran, toh aku masih
muda. Sepulang sekolah, berbeda dengan Fath yang akan kembali ke perpustakaan,
aku pergi dengan anak klub olahraga menuju lapangan ataupun gedung olahraga.
Sebenarnya, saat duduk di kelas
tujuh aku menghindari Fath, karena aku merasa dia adalah seorang kutu buku yang
anti sosial. Bayangkan saja, dia tidak pernah absen dari perpustakaan,
seakan-akan kita hidup di dunia ini hanya untuk membaca. Aku sama sekali tidak
pernah membuka percakapan dengannya, hingga disaat kami bertemu sebagai
delegasi sekolah untuk mengikuti lomba cerdas cermat di tingkat kota. Saat itu
aku bertemu dengan seseorang yang sangat berbeda dengan bayanganku selama ini. Fath
adalah anak pintar yang sangat suka bercerita dan humoris. Tak terhitung sudah
aku dibuat tergelak oleh cerita yang ia sampaikan kepadaku. Bukan hanya itu dia
adalah murid peringkat pertama di kelas, bahkan banyak pelajaran yang dia jauh
lebih unggul dariku. Ia juga termasuk ke dalam nominasi ketua kelas terfavorit
versi Organisasi Siswa. Benarlah pepatah yang mengatakan, jangan menilai
seseorang hanya dari penampilan luarnya saja.
Seusai menjadi delegasi dalam lomba cerdas
cermat tersebut, aku dan Fath menjadi teman yang saling bergantian menceritakan
hasil bacaan kami di perpustakaan. Lagi-lagi aku dibuat terkejut dengan
penguasaannya dalam mengekspresikan apa yang terbenak dalam
hati dan pikiran. Dia sama sekali tidak ragu dalam menyampaikan hasil bacaannya. Kala
itu terlintaslah dalam benakku, bahwa Fath adalah sosok ideal yang perlu aku
contoh.
Aku bergegas menghabiskan sisa sarapanku. Hari ini aku harus mencoba menghubungi Fath. Tak sampai semenit aku menghubunginya, Fath menerima teleponku. “Fath bagaimana kabarmu? Apakah lowongan kerja yang kau tawarkan kepadaku tempo hari masih berlaku?”
“Baik Ra, bagaimana denganmu? Sayangnya untuk
lowongan kerja yang pernah aku tawarkan kepadamu tempo hari sudah tidak berlaku
lagi. Kenapa kau tiba-tiba menanyakan hal itu, bukankah kau bilang kontrakmu
masih panjang dengan perusahaan kontruksi itu?” Aku terkejut dengan jawaban
yang diberikan oleh Fath dari ujung lain telpon. Ekspektasiku yang tinggi segara
jatuh terjun bebas dari langit.
“Hm, aku dalam keadaan baik Fath,
tetapi baru saja aku dipecat dari pekerjaanku. Karenanya aku teringat dengan
tawaran pekerjaan darimu. Tetapi kalau memang sudah tidak ada, mau bagaimana
lagi?”
“Jadi sekarang kau sedang tidak
berada dibawah perusahaan apapun?”
“Iya Fath, baru saja.”
“Maaf Ra, tolong ingatkan aku
kembali, apakah kau pernah tertarik menjadi seorang guru?”
“Guru?”
“Iya guru, memang tidak sesuai
dengan gelar kesarjanaanmu, tetapi aku bisa memberikanmu rekomendasi untuk
bekerja di salah satu institusi yang cukup tersohor di ibu kota. Sebenarnya aku
juga mengajar di institusi tersebut sebagai guru undangan.”
“Tunggu dulu, ini adalah tawaran
pekerjaan yang bahkan tidak pernah terlintas dalam pikiranku sepuluh tahun
terakhir. Aku merasa agak canggung untuk menjawab pertanyaanmu. Aku ingin balik
bertanya, kapan kiranya aku mengatakan bahwa aku ingin menjadi seorang guru?”
“Dahulu kala, ketika sang bangsawan sedang menguasai kota. Kau berkelana dengan para pengembala kambing sambil menyampaikan kepada mereka bahwa para penguasa tak lebihnya dari seorang tiran yang hanya cocok ditempatkan di dalam perut bumi yang terdalam.”
“Benarkah? Aku pernah mengatakan itu kepadamu saat kita menjadi pengurus Organisasi Siswa?”
“Ayolah, cukup jawab, mau atau
tidak? Kalau kau mau, segeralah bertandang ke rumahku di ibu kota. Aku akan
membantumu untuk melamar kerja. Oh ya, kapan kau akan menikah?”
“Pertanyaan macam apa itu? Jangan
mentang-mentang kau sudah menikah lantas ingin merendahkan diriku yang masih
berjuang mencari penghidupan ini.”
“Bukan begitu, sang bidadari sudah
mulai melirikmu, kenapa kau belum kunjung menyadarinya?”
“Fath aku akan datang ke kediamanmu tiga
hari yang akan datang. Mari kita berdiskusi lebih intens mengenai profesi guru
ini. Terimakasih banyak Fath.” Aku mematikan teleponku, jika aku membiarkan
Fath membalas ucapanku, dia akan terus menerus menggodaku mengenai pernikahan.
Guru? Mungkinkah guru
adalah jalan baruku? Tapi pantaskah aku untuk menjadi seorang guru?
Seseorang yang pasti di gugu dan di tiru dalam setiap ucapan dan perilakunya,
seseorang yang mendedikasikan hidupnya demi para siswanya, seseorang yang tak
pernah lepas dari memegang nilai-nilai yang sakral. Apakah aku sanggup untuk
memikul itu semua? Bagaimana mungkin aku seorang bujang dapat mengurus
anak-anak, toh aku belum menikah, apalagi memiliki anak? Aku perlu berpikir
lebih dalam sebelum pergi ke ibu kota dan bertemu dengan Fath.
Besambung.
TTD-Ali Yasrif
Terimakasih Banyak Sudah Membaca
ReplyDelete