Asap tebal nan pekat merangsek memenuhi seluruh ruangan kamar. Terus masuk dengan cepat melewati celah-celah kecil yang ada di pintu dan ventilasi. Cahaya lampu kamar tergantikan dengan gelapnya asap. Sedari tadi aku berusaha mencari cara untuk keluar dari kamar ini, sialnya, orangtuaku pergi semenjak dua jam lalu dan mengunci pintu kamar rumah susun kami dari luar. Aku sudah mencari kunci pintu ke sepenjuru ruangan tapi tak kunjung menemukan. Panik tidak menemukan kunci, aku mulai berteriak meminta tolong, aku berteriak sekuat mungkin seakan-akan jiwaku ikut keluar dalam setiap teriakan, tetapi tak ada yang menghiraukan teriakanku. Seiring berjalannya waktu aku mulai sulit bernapas, hidung dan tenggorakanku gatal. Segera aku berlari tergesa – gesa menuju satu – satunya jendela di kamar. Setelah perjuangan menaklukkan kusen jendela yang berkarat, aku julurkan leherku ke luar jendela. Dalam sepersekian detik aku hirup udara di luar jendela semampuku, tetapi sayangnya gumpalan asap itu juga mencari ruangan terbuka sama sepertiku. Kini, udara segar tersebut tercampur dengan asap yang terus mengepungku dari belakang.
Dua menit yang lalu aku sedang asik mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan oleh wali kelasku dengan suasana damai, tentram, dan sentosa layaknya malam – malam yang lalu. Tapi saat ini, hal tak terduga yang tak pernah terbesitkan dalam pikiran anak sekolah dasar sepertiku terjadi. Rasa pusing menjalari kepalaku, aku mulai menangis, bingung dengan segala hal yang terjadi dengan begitu cepat. Kini, tak ada hal lain yang dapat aku bayangkan selain wajah kedua orangtuaku, berharap mereka kembali menjemputku sekarang. Samar-samar aku melihat jalanan dibawah sana mulai dipenuhi oleh warga, mereka semua terlihat cemas, berlari kesana kemari seperti kawanan semut yang tak memiliki tujuan. Rasa pusing di kepalaku semakin menjadi, kakiku mulai lunglai. Perlahan aku terkulai bersender di dinding, aku sudah tidak bisa merasakan kaki maupun tanganku, walau kini mataku terbelalak pandanganku memudar seiring berjalannya waktu menyisakan warna putih bersih seperti susu. Kini-pun tak ada suara yang dapat aku dengar, hanya keheningan tak berujung.
==========================================================================
“Ra…, Ra…, bangunlah! Sudah waktunya untuk menghadap.” Alden melempar bantal sofa kepadaku. “Basahi saja mukamu! Kita sudah hampir terlambat. Aku tunggu dirimu di mobil.”
Aku tercengang melihat jam dinding yang menunjukkan pukul delapan. Aku segera bangkit, beranjak dari sofa menuju kamar mandi dan membasuh wajah serta rambutku secukupnya. Semalam, kepala departemen menghubungi Alden menanyakan perihal perkembangan pembangunan salah satu jembatan dibawah kepengurusan kami. Karena tak puas mendengar laporan via telepon ia menyuruh Alden dan diriku menghadap pukul sembilan tepat. Karenanya aku begadang semalam suntuk merapihkan semua laporan pembangunan, dan aku baru bisa benar-benar memejamkan mataku pukul setengah enam pagi disaat matahari sudah memberikan sapaan yang hangat kepadaku melalui celah di antara gorden jendela yang terbuka.
Perjalanan dari rumah dinas yang kami tempati menuju gedung kantor, memakan waktu hingga setengah jam apabila lancar dan satu jam apabila terjadi macet di beberapa titik. Karena takut terlambat apabila terjadi macet, aku tidak mempedulikan penampilanku dan hanya asal menggunakan pakaian yang aku gantung di balik pintu kamar, toh hari ini bukan hari kerja, aku tidak akan bertemu dengan banyak orang di kantor. Setelah berpakaian aku bergegas mengunci rumah dan duduk di samping Alden. Melihat aku yang sudah menutup pintu mobil, Alden memacu mobil sedan manual klasik merah kesayangannya tanpa mempedulikan diriku yang belum menggunakan sabuk pengaman. Sentakan yang kencang membuat badanku terpelanting kedepan dan kepalaku hampir bersentuhan dengan dashboard mobil. Alden tidak peduli dengan yang terjadi kepadaku, kini ia hanya memfokuskan perhatiannya kejalan yang akan kami susuri.
“Keselamatan kita adalah yang utama Den.” Aku berusaha mengingatkan Alden yang kini membawa mobil seperti sedang mengikuti balapan liar di tengah kota.
“Ya, aku tahu.” Jawabnya singkat. Tetapi nasehatku sepertinya tidak pernah masuk ke telinga kirinya. Melihat jalur berlawanan yang kosong, ia menambah kecepatannya dan menyalip empat mobil di hadapan kami sekaligus. Aku hanya bisa membatin dan berharap kami bisa sampai dengan selamat ke kantor. Sekitar empat puluh menit berlalu hingga kami sampai di gerbang gedung kantor.
Setelah memarkirkan mobil, aku dan Alden bergegas menyusuri parkiran, berjalan cepat memasuki gedung menuju ruangan kepala departemen yang berada di lantai empat. Di lantai dasar kami hanya berpapasan dengan beberapa piket dari bagian kebersihan dan perawatan gedung. Sesampainya di hadapan ruangan kepala departemen, aku mengetuk pintu.
“Ya, silahkan masuk.” Terdengar suara berat khas milik kepala departemen dari balik pintu. Aku beserta Alden masuk dan duduk di sofa yang berada di dalam ruangan. Kepala departemen beranjak dari meja kerjanya dan ikut duduk di sofa. Kini kami saling berhadapan satu sama lain dan hanya dipisahkan oleh meja kayu bergaya klasik. “Serahkan laporan jembatan penghubung dua desa itu kepada saya. Kalau saya tidak salah ingat dalam kesepakatan awal, jembatan itu seharusnya sudah bisa diresmikan bulan depan tanggal duabelas, bukan begitu?”
“Iya pak, sesuai dengan kesepakatan awal, semenjak tanggal delapan kemarin, proyek sudah berada di tahap penyelesaian dan akan dilakukan uji coba di akhir bulan ini.” Aku menyerahkan dokumen perkembangan proyek jembatan kepada kepala departemen. Sekarang kepala departemen sibuk membaca dan meneliti halaman demi halaman dokumen yang kami bawa. Ruangan kantor hening menyisakan suara detik jarum jam.
“Seberapa ketat kalian memantau dan mengawasi proyek ini?”
“Kami menjalankan semua pemantauan dan pengawasan sesuai dengan standar operasional yang berlaku di perusahaan pak. Kami selalu melakukan pemeriksaan harian, dan mengingatkan serta mengevaluasi bagian dan sub bagian apabila tidak melaksanakan program sesuai target yang tertera pak.”
“Tapi saya dengar dari beberapa peninjau, ada indikasi manipulasi keuangan yang terjadi di salah satu bagian dalam proyek yang kalian naungi ini? Apakah kalian akan mengakuinya atau menyangkalnya? Coba jelaskan, agar saya tidak salah mengambil keputusan.” Seketika ruangan kembali sunyi senyap. Aku dan Alden saling bertatap pandang. Ada apa ini? Tidak pernah kami menemukan sebuah kejanggalan di laporan maupun di lapangan selama proyek berlangsung.
“Mohon maaf pak, sebagaimana yang tercantum dalam dokumen ini, tidak ada indikasi penyalahgunaan keuangan perusahaan, baik itu dalam penggunaan dana, maupun lainnya. Kami bisa menjamin hal itu. Jika bapak tidak yakin, bapak bisa memanggil setiap kepala bagian guna mensinkronkan data kami dengan data dari kepala-kepala bagian. Kalau memang terbukti terdapat manipulasi keuangan, kami akan menindak lanjuti hal tersebut sesegera mungkin.”
“Bagaimana saya bisa tahu kalau kau tidak berbohong? Dokumen yang ada di tangan saya sekarang adalah hasil laporanmu, kau sendiri yang menulisnya, saya curiga kalian berdua bersekongkol dalam memanipulasi dokumen ini, atau kalian mendapatkan bagian besar dari para pengkhianat perusahaan?”
“Sungguh kami tidak pernah melakukan hal seperti itu pak. Bapak bisa membaca ulang riwayat pekerjaan kami selama di…”
“Saya tahu, tapi manusia tidak selalu sama sepanjang waktu, ia bisa berubah dalam sifat, watak, ambisi dan lain sebagainya dalam persekian detik. Apakah kau bisa menjamin dirimu tidak tergiur dengan nominal yang sangat banyak ini?” Ketua departemen memotong kata-kataku. “Kau kira saya tidak tahu riwayatmu selama berada di departemen lain di perusahaan? Tentu saya tahu. Kalau tidak saya tidak mungkin menerima kalian berdua menjadi pengawas proyek besar. Tetapi saya tetap memiliki dugaan dan kecurigaan karena bukan saya langsung yang merekrut kalian kemari. Apa hubungan yang kalian berdua miliki dengan bapak direktur?”
“Sungguh pak, kami tidak memiliki hubungan khusus dengan bapak direktur melainkan sebatas atasan dan bawahan dalam…”
“Lalu kenapa kalian yang diajukan olehnya untuk menjadi penanggung jawab proyek ini?” Sekali lagi perkataanku dipotong oleh kepala departemen. “Saya sangat tidak suka dengan orang titipan yang tidak berkompeten. Apalagi kalau ada niat terselubung yang dimiliki oleh orang titipan ini dan kroni-kroninya. Sungguh aku akan menghabiskan mereka sampai ke akar-akarnya. Bagaimana apakah kalian termasuk ke dalam golongan ini?”
“Tidak pak, kami tidak termasuk ke dalam kriteria yang bapak sebutkan. Kami memiliki asal-usul yang jelas, portofolio…”
“Asal-usul yang jelas? Bukankah Alden tidak masuk ke dalam perusahaan melalui tes yang berlaku kepada seluruh karyawan? Dan data keluarga Alden membuat diri saya semakin tidak mempercayai kalian berdua.” Kepala departemen berhenti sejenak, memandang kami berdua. Kedua mata kami saling memandang dalam beberapa detik.
“Pak, kalau bapak asal menuduh seperti ini, kami akan mengajukan…”
“Apa? Kau ingin mengajukan gugatan? Sangat lucu.” Kepala departemen meyilangkan tangannya di dada. “Apakah kau masih belum mengerti akan situasi yang kau hadapi Yashira? Kemarin aku sudah menerbitkan surat pemecatan kalian, saya memecat kalian berdua karena membiarkan terjadinya manipulasi keuangan dalam proyek kalian. Hari ini, kemas barang kalian dari rumah dinas yang perusahaan berikan. Tidak perlu lagi berurusan dengan administrasi lainnya, karena semua sudah saya selesaikan dan bapak direktur juga sudah mengetahui bahwa saya memecat kalian.” Kepala departemen menaruh dua buah amplop di atas meja. “Amplop itu berisi surat pernyataan pemecatan kalian dan uang pesangon. Ambillah dan tinggalkan ruangan ini.” Kepala departemen berdiri dan keluar dari ruangan.
Peristiwa macam apa ini? Aku dan Alden tidak melakukan sedikit-pun kesalahan. Apakah ada orang-orang yang tidak suka dengan kami? Apa alasan mereka tidak menyukai kami? Apakah karena kami sangat berpegang terhadap standar opersaional perusahaan? Apa salahnya mengikuti standar operasional perusahaan? Kami berdua termenung tak bergerak sejengkal pun dari tempat kami duduk. Seakan-akan waktu membeku untuk sesaat. Tatapanku kosong. Segala pertanyaan yang dapat aku pertanyakan berseliweran tak karuan di dalam kepalaku. Aku mulai mereka ulang kejadian beberapa bulan kebelakang selama kami mendapatkan tugas sebagai pengawas. Puluhan wajah kini memenuhi pemikiranku.
“Ra, sadarlah. Ambil amplopmu. Berpikirlah positif. Jangan sampai pikiran negatif menguasaimu. Sekarang kita perlu bertemu dengan bapak direktur di kediamannya. Kita tanyakan kepadanya perihal pemecatan ini.” Alden mengambil amplop di atas meja. “Ayo! Kalau tidak aku tinggalkan dirimu disini.” Alden berjalan pergi meninggalkan ruangan. Menyisakan diriku, ditemani pikiran liar yang tak kunjung tenang. Aku pandangi amplop yang kini ada ditanganku.
Aku dan Alden adalah teman sejawat semenjak kami duduk di bangku sekolah dasar. Kami semakin dekat setelah kejadian yang sangat mengerikan terjadi kepadaku. Kejadian yang sangat membekas dan tak pernah aku lupakan hingga detik ini. Ketika rumah susun tempat aku bermukim dengan keluargaku dilahap oleh sang jago merah. Untungnya aku masih sempat untuk diselamatkan. Karena sang jago merah dapat ditaklukkan sebelum ia mengambil alih seluruh gedung. Kamarku atau dapat aku sebut sebagai rumah masa kecilku, tidak terkena imbas secara langsung. Tetapi asap hitam yang sangat pekat telah membuat diriku dirawat di rumah sakit sampai dua minggu lamanya-kurang lebih orangtuaku memberitahuku seperti ini. Walaupun begitu, setidaknya aku selamat dan bisa hidup hingga hari ini. Mengetahui bahwa aku tidak hadir di kelas selama dua minggu berturut-turut, Alden yang sekelas denganku, memberikan perhatian yang sangat berarti bagiku saat aku kembali masuk ke sekolah. Dia menanyakan begitu banyak pertanyaan, hingga akhirnya aku menceritakan peristiwa yang terjadi kepadaku. Saat dia tahu, gedung rumah susun dimana aku bermukim terbakar, dia tercengang dan semakin bersimpati kepadaku. Kurang lebih begitulah awal mula kedekatan kami di sekolah dasar.
“Apakah kau tahu dimana kediaman bapak direktur?” Aku sekarang duduk di mobil.
“Aku sudah pernah menanyakan alamat bapak direktur kepada sekertarisnya. Rumahnya ada di daerah yang terbilang elit. Mudah bagi kita untuk menumukannya.” Kini Alden tidak membawa mobil dengan terburu-buru. Sepertinya ia sudah mengelola emosinya dengan sangat baik. “Apabila direktur tidak megetahui perihal pemecatan kita, kita bisa mengajukan banding kepadanya. Setidaknya kita perlu meminta pindah departemen dan kembali ke departemen kita sebelumnya. Tapi, apabila bapak direktur mengetahui pemecatan kita, berarti ada beberapa orang dengan kepentingan pribadi yang ingin menjatuhkan kita, toh kita tidak melakukan kesalahan apapun.”
“Ya, aku setuju.” Selama perjalanan kami tenggelam dalam pikiran kami masing-masing . Sesampainya di komplek kediaman bapak direktur, kami menanyakan kepada satpam rumah kediamannya.
“Maaf, tuan-tuan. Menurut prosedur, kami perlu menanyakan nama tuan-tuan dan tujuan tuan-tuan datang kemari. Apakah tuan-tuan sudah membuat janji?”
“Kami memiliki urusan mendadak dan sangat penting sehingga belum sempat membuat janji. Sebutkan saja nama kami berdua. Kami akan menunggu disini.”
“Baik, kalau begitu. Mohon ditunggu. Silahkan parkirkan mobil tuan di sebelah sana.” Satpam komplek pergi meninggalkan kami berdua dengan sepeda motor.
Sepuluh menit berlalu, satpam tadi kembali menghadap kepada kami. “Mohon maaf tuan, tetapi bapak bilang dia tidak memiliki suatu urasan apapun dengan tuan-tuan.”
“Apakah kau sudah memberitahu nama kami dengan betul beserta posisi kami diperusahaannya?”
“Sudah tuan dan beliau bilang, bahwa beliau tidak mengenal nama tuan-tuan sekalian.” Kami berdua saling bertatap, bagaimana bisa bapak direktur melupakan kami begitu saja. Bukankah dia yang merekrut kami ke dalam barisannya?
“Baik, terimakasih banyak atas bantuannya pak. Kami akan kembali.” Alden mengarahkan mobil kembali ke arah rumah dinas kami.
Tenanglah, aku sudah pernah terjebak dalam situasi sulit seperti ini. Aku mencoba menenangkan diriku sendiri. Tenanglah! Tenanglah!
“Ra, dimana kau akan tinggal setelah ini?”
“Bagaimana denganmu?”
“Sepertinya aku akan kembali tinggal dengan bapak dan ibuku sampai mendapatkan pekerjaan lain. Kalau memang di kota ini sudah tidak ada tempat yang akan menerima diriku, aku akan mencoba peruntunganku di kota lain, atau bahkan kalau memang tidak mendapatkan hasil positif, aku akan mencoba keluar pulau.”
“Keluar pulau? Apa kau akan meninggalkan keluargamu di sini?”
“Aku harus tega.”
Aku termenung. “Sepertinya aku sama sepertimu. Aku akan kembali ke rumah kedua orangtuaku terlebih dahulu. Tetapi aku ingin mencoba mendaftar di salah satu perusahaan di ibu kota. Apakah kau akan ikut denganku?”
“Sepertinya tidak Ra, aku tidak memiliki riwayat pendidikan yang sama sepertimu. Walaupun kemarin kita berada di perusahaan yang sama, tapi aku bisa diterima karena kau merekomendasikan diriku kepada bapak direktur, dengan alasan yang tidak kita ketahui dia menerima usulanmu dan menyandingkan diriku dengan dirimu dibanyak proyek perusahaan. Jadi kalau kau ingin masuk perusahaan di ibu kota jangan ajak aku ikut denganmu sama seperti saat ini. Aku takut kau akan terkena getah yang seharusnya tidak pernah mengenaimu. Jangan sampai kau jatuh ke lubang yang sama dua kali.”
Aku kembali termenung. Aku hanya ingin membantunya. Aku ingin membalas setiap kebaikan yang pernah ia berikan kepadaku, terlepas dari bahwa ternyata ia memiliki latar belakang yang berbeda dengan diriku. Bu Karina ibunya Alden, selalu memberikan sambutan yang hangat setiap kali aku berkunjung ke kediaman mereka. Pak Aiman-pun seperti itu. Aku merasakan kehangatan dan ketentraman yang sama seperti yang aku rasakan di keluargaku saat aku kesana. Aku segera menyimpulkan bahwa mereka adalah orang baik. Hal itu sangat berbekas di diriku. Aku tidak bisa melupakannya. Selepas sekolah dasar aku dan Alden sudah tidak pernah lagi bersekolah di sekolah yang sama, tetapi walaupun begitu kami masih sering bertemu. Kadang aku datang ke rumahnya, atau sebaliknya. Hingga saat kami berdua lulus sekolah menengah atas, Alden berkata kepadaku bahwa ia tidak bisa melanjutkan studi ke bangku perguruan tinggi dan akan langsung masuk ke dunia kerja. Membantu bapak dan ibunya melanjutkan hidup.
Sesampainya kami di rumah dinas, kami merapihkan barang-barang pribadi kami, kemudian memasukkannya kedalam mobil. Esok hari pengurus dari perusahaan akan datang dan membersihkan rumah ini untuk diberikan kepada petugas yang baru.
“Kau saja yang membawa mobil, karena kita akan berpisah, pemilik mobil lebih berhak menggunakannya.” Alden masuk ke dalam mobil dan duduk dibangku penumpang. Akhirnya sore hari ini kami berpisah. Setelah ini kami akan kembali berjuang di tempat yang berbeda. Mungkin kami tidak akan bertemu untuk beberapa tahun kedepan, tapi semoga, semoga saja kami akan bertemu lagi saat kami sudah berada di puncak kehidupan kami dan bukan kebalikannya. Matahari mulai terbenam, mengakhiri peristiwa yang menjadi pecutan yang sangat tidak enak di diriku dan pasti sangat menyakitkan di diri Alden. Aku bukan pasrah dipecat dari perusahaan tersebut, tetapi setelah beberapa tahun berada di dalamnya, hal ini adalah hal yang dimaklumi bersama dan menjadi hal yang sangat sulit untuk diangkat dan dibicarakan. Masih ada hari esok, masih ada harapan, yang aku perlukan adalah tetap bersemangat dan tidak menyerah. Pasti ada jalan.
Terimakasih telah membaca.
ReplyDeleteNantikan Episode-bagian selanjutnya.
ReplyDelete