“Bang, aku ada masukan.” Nathan berdiri menghampiri papan tulis putih di hadapan kami. Mengambil spidol, kemudian mulai memberikan beberapa catatan pada plot-plot cerita yang sedang kami rancang bersama.
“Jelaskan lebih rinci apa yang kau mau Nat!” Aku memperhatikan Nathan dengan seksama.
“Jadi begini bang, bagaimana kalau kita memasukkan karakter-karakter yang sudah pernah kita gunakan sebelumnya? Kalau kita menggunakan cara ini, kita dapat mengakselerasi penggambaran dan penguatan tokoh yang akan bertemu pada cerita serial kita kedepannya.”
“Apakah maksudmu dari karya kita yang sudah diterbitkan?” Aku mulai mengingat ulang karya-karya yang sudah kami terbitkan.
“Iya bang.”
“Berapa karakter yang ingin kau masukkan?”
“Tentunya pertama aku mengusulkan karakter perempuan dari karyaku bang, dan selain itu aku juga mengusulkan karakter dari karya bertema depresi eksternal milik kang Aam untuk dimasukkan sebagai pertimbangan.”
“Mmm, Aku setuju dengan masukanmu. Selain mempersingkat waktu penulisan, para pembaca juga dapat lebih memahami latar belakang dari para karakter. Jadi para pembaca seperti mendapatkan cerita sampingan dari sebuah cerita utama. Bukankah begitu kang?”
“Ya, saya sependapat dengan ide Nathan.” Kang Aam duduk bersender di kursinya sambil mengelus jenggot perlahan, pose duduk yang menandakan bahwa ia sedang berada pada kondisi berpikir serius.
“Tapi Nat, kenapa karakter dari cerita yang aku tulis tidak menarik perhatianmu untuk dimasukkan kedalam serial ini?”
“Bagaimana ya bang,” Nathan mengelus kepala belakangnya. “Cerita yang abang tulis berlatar belakang anak SD. Jadi belum ada ide yang terbesit di pikiranku.” Nathan kembali duduk di tempat duduknya.
“Mmm, baiklah. Itu akan menjadi tugasku nanti.” Alasan yang tepat, aku belum sempat menulis karya baru semenjak karya percobaanku terbit tiga bulan lalu. Akan sedikit sulit untuk memasukkan karakter yang tidak memiliki daya penggambaran yang dalam untuk dimasukkan ke dalam cerita serial kami.
Aku, Nathan, dan Aam merupakan salah satu tim penulis cerita di sebuah agensi penerbit buku, setiap ada proyek baru kami akan melakukan diskusi panjang mengenai kerangka cerita, tema, penggambaran karakter, dsb. Sayangnya memang tim kami kurang produktif semenjak dibentuk. Mungkin karena alasan itu, agar tidak merugikan agensi, hari kemarin aku sebagai ketua dari tim ini diminta menghadap kepada manager agensi. Manager meminta kami untuk menulis cerita serial yang akan diterbitkan setiap minggu selama tiga bulan kedepan di situs resmi agensi.
“Rifan, untuk masalah penulisan, apakah kita tetap akan menggunakan gaya kita masing-masing atau hanya mengikuti satu gaya penulisan?” Kang Aam sekarang duduk dengan tegap di kursinya.
Kalau aku perhatikan dengan seksama, gaya penulisanku, Nathan, dan kang Aam memiliki corak yang berbeda-beda. Nathan lebih memperbanyak deskripsi dan meminimalisir dialog antar karakter, sedangkan aku lebih memperbanyak dialog dari deskripsi, dan kang Aam membuat keduanya seimbang. Untuk hal tema-pun begitu, milik kang Aam sangat filosofis sedangkan Nathan cenderung mengambil inspirasi dari kejadian-kejadian aktual di masyarakat, dan aku, hanya menulis apa saja yang terlintas dalam benakku tanpa mempertimbangkan dasarnya.
“Aku memiliki ide, kita bertiga akan sama-sama membuat prolog cerita, lalu di pertemuan selanjutnya kita akan menentukan gaya siapa yang paling cocok dengan cerita serial. Bagaimana?”
“Kalau kita mencampur ketiga gaya penulisan bagaimana bang?”
“Bisa saja. Kita akan menentukannya minggu depan saat kita bertiga membawa prolog dari serial ini.”
“Saya sepakat.” Kang Aam kembali duduk bersender di kursinya dan mulai mengelus jenggot sambil memerhatikan papan tulis. Seperti ia tidak rela apabila ada hal yang terlewatkan dalam diskusi ini.
“Selanjutnya aku akan membagi setiap dari kita empat bagian/episode dari serial proyek. Kang Aam akan memulai dari bagian satu dan dua, aku tiga dan empat, Nathan lima dan enam, lalu urutan akan kembali ke kang Aam, aku dan Nathan masing-masing membuat dua bagian seperti diawal. Bagaimana, apakah ada yang keberatan?”
“Saya setuju dan tidak keberatan.”
“Aku setuju bang.” Nathan sebagai anggota termuda dalam tim ini, bertugas menjadi sekertaris dalam setiap perkumpulan, ia menulis semua keputusan yang telah kami sepakati dalam diskusi.
“Baik, kalau kita semua sudah sepakat pada hal-hal yang kita diskusikan hari ini, kita cukupkan kumpul kita, dan aku ingatkan kembali kita akan melakukan pengecekan naskah prolog Senin depan. Aku harapkan kita dapat bekerja dengan baik dan menghasilkan karya-karya yang baik pula. Semangat, sampai berjumpa lagi di pengecekan naskah.”
Kami merapihkan catatan-catatan kami, bersalaman dan pergi melanjutkan kegiatan kami masing-masing. Ini adalah proyek besar pertamaku selama berada di agensi, aku berharap proyek kami dapat berjalan dengan lancar dan diminati oleh banyak pembaca.
___________________________________________________________________________________
Hari ini adalah hari Senin. Aku, Nathan dan kang Aam kembali duduk di kantor kami guna mengecek hasil penulisan prolog, sesuai dengan kesepakatan kami sebelumnya. Proses yang sebenarnya sederhana tetapi memakan lebih banyak waktu. Karena kami perlu mengecek kembali kesesuaian alur cerita, penokohan karakter, latar belakang, dan ide serta nilai dari setiap paragraf yang akan kami terbitkan. Kami mulai berkumpul di kantor pada pukul tujuh pagi dan hingga saat ini, tepatnya pukul tujuh malam perdebatan demi perdebatan dari prolog serial belum kunjung selesai. Adu ide dan argumen antara kami bertiga di dalam kantor sudah seperti debat antar kontestan dalam lomba debat akademis. Hal itu dapat terjadi karena kami tidak mau kalah ketika kami mengutarakan pendapat, bahkan sekali dua kali dalil-dalil ilmiah terlontarkan dalam diskusi prolog ini.
“Bukankah sudah saya katakan bahwa kita tidak perlu terlalu menyembunyikan identitas dari pikiran kita, kalau saya tidak salah, saya sudah pernah menjelaskan kepada kalian berdua bahwa setiap kata memiliki nilai sejarah dan filosofi yang tidak dapat digantikan semau kita.”
“Iya kang, aku paham tapi bukankah para pembaca lebih suka dengan pembawaan yang tidak terlalu kaku? Maksudku kita bisa membuatnya lebih fleksibel. Toh, tugas kita sebagai penulis hanyalah untuk menghadirkan karya terbaik kepada para pembaca, dan membiarkan para pembaca mengambil kesan, pesan serta nilai dari karya kita. Kita biarkan mereka untuk mendalami imajinasi mereka. Semua orang memiliki otot keilmuan yang berbeda-beda yang menghasilkan setidaknya perspektif yang berbeda-beda pula dalam melihat suatu karya.”
“Kang Aam untuk hal ini aku setuju dengan bang Rifan, walaupun kita ingin memberikan pesan serta nilai, hal itu tidak perlu ditulis dengan begitu eksplisit di dalam naskah atau bahkan sampai merubah alur cerita yang bernuansa seperti karya ilmiah. Bukankah akan lebih baik jika kita membuat para pembaca menyukai karya kita secara emosional terlebih dahulu? Kalau mereka tidak tertarik untuk terus membaca karya kita hingga kata terakhir, bagaimana kita dapat memberikan pesan?”
“Saya setuju dengan apa yang kalian berdua sampaikan. Tetapi poin saya adalah mau seperti apapun kita memainkan kata dalam karya kita ini, kita tidak boleh melupakan identitas kita. Jadi alangkah baiknya kita menulis cerita ini sesuai dengan keadaan dalam dunia nyata, tidak terlalu berkhayal menciptakan hal-hal di luar nalar manusia. Kita sedang tidak membuat karangan fiksi bergenre fantasi. Kalau proyek kita adalah karangan bergenre fantasi, saya akan medukung kita untuk mengarang hal-hal yang ada di luar nalar manusia. Bahkan mungkin saya sendiri akan menciptakan sebuah sejarah asal-usul sihir yang begitu melenceng dari karya-karya yang sudah ada.”
Kami bertiga diam. Berpikir. Merenungkan ide yang baru saja kami perdebatkan.
“Baik kang, aku paham maksudmu. Kalau begitu Nat, kita akan menggunakan bagian nomor tiga puluh lima untuk kelanjutan dari halaman kedua, dan karena bagian ke-tiga puluh lima sudah mencakup hampir tiga perempat ide cerita, kita akan memasukkan bagian ke-lima puluh enam untuk halaman selanjutnya. Bagaimana, apakah ada sangahan?”
“Saya sepakat.”
“Akhirnya selesai juga kita dari menulis prolog serial ini,” aku melirik jam dinding, “kurang lebih kita sudah berdebat selama sepuluh jam. Ini adalah perdebatan terlama kita selama bekerja bersama.”
“Haha, benar bang. Akhirnya kita memiliki proyek yang cukup menantang.”
“Dengan sepakatnya kita bertiga pada malam hari ini, prolog dapat tuntas dan akan siap diterbitkan sesuai dengan jadwal yang diberikan manager. Tetapi ada satu hal lagi yang belum kita perdebatkan dari tadi pagi. Apa gerangan judul dari serial perdana kita?”
Seperti sebelumnya ruangan seukuran enam belas meter persegi hening tak bersuara, hanya terdengar suara kipas angin orbit yang berputar tepat di atas meja. Kami bertiga terdiam, tenggelam kedalam pikiran kami masing-masing. Kang Aam bersender, mengelus janggutnya, Nathan membaca ulang kerangka cerita yang telah kami susun, dan aku termenung sambil memerhatikan mereka berdua.
“Saya mengusulkan judul ‘Mimpi nan Indah’.”
“Judul dariku ‘Cita’ bang.”
“Mmm, jadi judulnya bersinggungan dengan hal yang sedang kita dambakan begitu?”
“Kurang lebih begitu bang. Apa idemu bang?”
Pembuatan judul kadang membuatku termenung sangat lama, karena judul yang baik seharusnya dapat mewakili seluruh isi yang akan dibawakan dan disampaikan kepada para pembaca. Dengan tema yang bersinggungan dengan hal yang sangat didambakan oleh karakter utama, aku akan menganggapnya sebagai cita. Tapi bukankah mimpi dalam percakapan sehari-hari dapat digunakan sebagai sinonim dari cita? Apakah salah apabila aku menggunakan padanan kata mimpi? Mmm. Berpikir Fan, sebagai ketua kau harus memberikan judul yang baik.
“Bagimana kalau ‘Cita yang bukan Mimpi’?”
“Saya tidak setuju.” Kang Aam mengomentari ideku.
Aku berpikir kembali, mencoba merombak ideku. “Kalau begitu, bagaimana kalau ‘Cita di Ujung Mimpi’ bukankah ini jadi lebih sederhana?”
“Wah aku setuju bang, bagaimana dengan Akang?”
“Saya sepakat.”
“Baikalah kalau begitu, kita akan menyepakati judul serial kita dengan ‘Cita di Ujung Mimpi’. Lusa nanti, pada hari Rabu aku akan mengunggah cerita kita, dan jangan lupa kang Aam bertanggung jawab sepenuhnya untuk menulis episode satu dan dua. Kita akan kembali berkumpul untuk mengecek ulang episode satu dan dua Senin yang akan datang. Tetap semangat dalam berkarya!”
Bersambung
TTD-Ali Yasrif
Terimakasih telah membaca.
ReplyDelete🤩🤩🤩🤩
ReplyDelete