Cerita Pendek (CERPEN ALYAS) - Perjuangan Struktural

    Sebuah televisi menyala ditengah ruangan rumah kecil Karina, menyiarkan berita tentang proyek-proyek besar infrastruktur negara. Sang presenter mempresentasikan bahwa para pemegang kebijakan negeri ini berencana membangun kilang minyak besar, investasi yang diharapkan bisa mengurangi ketergantungan pada impor. Dengan slogan pertumbuhan ekonomi, para pemegang kebijakan yang tidak pernah merasakan hidup dibawah rata-rata, mensalurkan sebagian besar anggaran belanja negara kepada hal-hal yang tidak berdampak langsung kepada masyarakat kecil seperti Karina, seorang ibu rumah tangga dengan dua anak. Tentu saja hal yang paling penting baginya saat ini bukanlah kenaikan ekonomi diatas kertas saja, melainkan kebijakan yang dapat menurunkan harga sembilan bahan pokok. "Apa artinya kilang minyak besar kalau kita tetap sulit membeli bahan pokok?" gumamnya dengan suara kecil.

    Karina mematikan televisi, merasa muak dengan berita-berita yang tidak mendukung masyarakat kecil sepertinya. Ia berpindah, duduk merenung di kursi kayu tua dapur rumah. Dari kamar dengan dinding triplek, suara tawa kecil Luna dan Aden terdengar. Mereka bermain dengan mobil-mobilan dan boneka lusuh yang telah menemani mereka sejak lama. Karina tersenyum tipis. Setidaknya, anak-anaknya masih bisa merasa bahagia di tengah segala keterbatasan.

    Karina merenung, beginilah atmosfir kehidupannya semenjak duduk dibangku sekolah dasar. Ayahnya dulu seorang buruh garmen dan ibunya berjualan kue basah di pasar. Meski mereka bekerja keras banting tulang, tetap saja kedua orang tua Karina hanya bisa menyekolahkan Karina yang anak tunggal hingga SMA dan tidak memiliki biaya untuk memasukkannya ke Perguruan Tinggi. Gaji ayahnya hanya cukup untuk membayar tagihan sewa rumah dan makan bagi mereka bertiga selama sebulan, sedangkan hasil dari jualan ibu yang tak seberapa di pasar, ditabung untuk dana darurat dan kebutuhan Karina di sekolah seperti seragam serta alat tulis. 

    Saat Karina duduk di bangku SMA, terbesit dalam bayangannya cita-cita serta impian untuk bekerja di kantor atau menjadi seorang guru. Namun, cita-cita itu hanya berhenti dalam khayalannya saja, kenyataan berbicara lain. Tanpa gelar sarjana, pilihan pekerjaan sangat terbatas. Setelah pontang-panting kesana kemari melamar pekerjaan, Karina diterima menjadi seorang pegawai di salah satu toko baju perempuan. Gaji yang ia terima enam bulan pertama dari toko baju ini sekadar cukup untuk membantu memodali ibunya membeli bahan dagangan dan menambah tabungan uang mereka.

    Saat Karina menginjak umur dua puluh enam tahun, ia menikah dengan Aiman. Saat itu Aiman bekerja di pabrik dengan penghasilan yang setara dengan upah minimum pekerja di kota mereka. Mereka memilih menikah tanpa melakukan pesta yang serba indah dan berkilauan. Kedua keluarga sepakat bahwa di zaman serba tidak menentu ini, uang perlu ditabung untuk kebutuhan yang berada pada posisi prioritas utama dalam daftar bertahan hidup, mulai dari sandang, pangan, dan papan. Karena hal itu pula, guna mengurangi biaya sewa rumah bulanan, setelah menikah Karina memutuskan untuk tetap tinggal bersama kedua orang tua.

    Dua tahun berlalu semenjak pernikahan Karina dan Aiman, Karina mengandung seorang anak. Saat mengetahui dirinya hamil, perasaan bahagia bercampur cemas menyelimuti hati Karina. Ia senang karena sebentar lagi akan menjadi seorang ibu, namun di sisi lain ia juga khawatir. Apakah mereka dapat memenuhi segala kebutuhan nutrisi sang bayi sehingga dapat menjadi bayi yang sehat?

     Kecemasan Karina bertambah parah ketika umur kandungannya menginjak bulan kelima, ibu Karina jatuh sakit. Kondisinya semakin memburuk setiap hari, dan dokter mengatakan bahwa ia membutuhkan perawatan rutin serta obat-obatan yang harganya tidak murah. Keluarga mereka tidak memiliki asuransi kesehatan, sehingga biaya pengobatan harus ditanggung sendiri. Karina merasa terhimpit di antara dua tanggung jawab besar: menjaga kehamilannya sekaligus merawat ibunya yang sakit. 

    Semenjak ibunya sakit Karina meminta izin kepada pemilik toko baju tempat ia bekerja untuk cuti guna merawat ibunya. Tetapi setelah dua bulan berlalu dan ibunya tidak kunjung menampakkan tanda-tanda akan sembuh, Karina meminta perpanjangan izin cuti kepada pemilik toko. Tanpa Karina sangka karena pemilik toko merasa dirugikan dengan ketidakhadiran Karina selama dua bulan dan kini meminta waktu tambahan, pemilik toko tanpa ragu mengatakan kepada Karina untuk tidak perlu kembali bekerja dengannya.

    Keputusan itu menghantam Karina seperti petir di siang bolong. Ia pulang dengan langkah berat, berusaha menyembunyikan kesedihannya di depan ibunya dan Aiman. Kini, sumber pemasukan mereka hanya mengandalkan gaji ayahnya dan Aiman. Dengan kondisi ibu yang masih sakit dan biaya kebutuhan yang terus meningkat, Karina merasa semakin terjepit. Semua tabungan dana darurat yang telah kedua orang tuanya kumpulkan semenjak lama ternyata tidak cukup untuk membiayai pengobatan ibunya. Rasa sesak yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata menyeruak masuk didalam dadanya. Badannya lelah, hatinya letih.

    Ketika usia kandungan Karina memasuki delapan bulan, kondisi ibunya semakin memburuk. Mereka tidak lagi mampu membayar biaya pengobatan di klinik, sehingga harus mengandalkan pengobatan tradisional yang lebih murah. Namun, keadaan tidak membaik. Hingga suatu malam, ibu Karina menghembuskan napas terakhirnya di rumah mereka yang kecil.

    Kesedihan menyelimuti keluarga mereka. Karina merasa kehilangan sosok yang selalu berjuang untuk keluarganya, sementara ayahnya harus menerima kenyataan bahwa istrinya telah tiada. Namun, tidak ada waktu untuk berlama-lama dalam kesedihan. Hidup terus berjalan, dan Karina harus bersiap menghadapi kelahiran anaknya. Karina pun mulai membuat kue seperti ibunya dahulu, meskipun tubuhnya semakin lelah seiring usia kandungannya bertambah. Mereka semua bekerja keras agar bisa menyambut kelahiran bayi dengan sedikit lebih tenang.

    Beberapa minggu setelah kepergian ibunya, Karina melahirkan Aden. Tangis bayi itu menggema di rumah kecil mereka, membawa harapan baru di tengah kesulitan. Meski kebahagiaan datang dengan kelahiran Aden, perjuangan mereka masih jauh dari selesai. Tak lama setelahnya, ayah Karina pensiun dari pekerjaannya, dan tanpa disangka Aiman kehilangan pekerjaannya juga satu bulan kemudian. Pabrik tempat Aiman bekerja melakukan pemutusan hubungan kerja massal guna efisiensi pengeluaran anggaran bulanan, hal ini disebabkan karena berkurangnya permintaan pasar terhadap produk yang mereka hasilkan. Dalam sekejap, sumber pendapatan utama mereka lenyap. Aiman berusaha mencari pekerjaan baru, tetapi dengan banyaknya orang yang juga menganggur, persaingan semakin sulit. Di sela pencarian kerja, Aiman dengan beberapa teman satu pabriknya yang bernasib sama terpaksa bekerja serabutan.

    Tidak ada yang bisa memperkirakan umur manusia, satu tahun setelah pensiun dari pekerjaannya ayah Karina menghembuskan nafas terakhir saat Karina sedang mengandung anak keduanya. Kini Karina dan Aiman hidup bertiga di rumah kecil penuh kenangan tersebut. Dua bulan setelah wafatnya ayah Karina, sebuah angin menyegarkan berhembus kedalam keluarga kecil tersebut, Aiman diterima menjadi seorang buruh angkut disalah satu pabrik dengan gaji setara dengan upah minimum pekerja daerah. Rasa sedih yang membendung dalam pikiran Karina sedikit teratasi dengan kabar tersebut.

    Tak lama setelahnya Luna lahir dengan keadaan yang sehat. Rasa tanggung jawab Karina dan Aiman bertambah dan dengannya mereka berusaha lebih keras untuk menghidupi kedua anak mereka. Hari-hari mereka dipenuhi perjuangan tanpa henti. Karina sering kali harus memutar otak agar bisa memasak makanan bergizi dengan bahan yang terbatas. Terkadang, ia harus menahan lapar demi memastikan anak-anaknya bisa makan cukup.

    Di luar sana, berita tentang pembangunan dan pertumbuhan ekonomi terus berkumandang. Namun bagi Karina, semua itu terasa jauh dari kenyataan hidupnya. Baginya, kemajuan ekonomi yang dibangga-banggakan pemerintah hanyalah ilusi bagi rakyat kecil. Karina menyadari dengan sistem ekonomi dan bermasyarakat yang seperti ini, tak peduli seberapa keras ia dan Arman bekerja, kemiskinan seolah tetap akan membelenggu. Orang-orang sepertinya tak pernah memiliki kesempatan untuk benar-benar keluar dari jeratan ini. Sistem seakan telah mengatur bahwa mereka harus tetap berada di bawah, sementara segelintir orang di atas terus menikmati hasil pembangunan yang tak pernah menyentuh rakyat kecil. Orang kaya semakin kaya dan orang miskin semakin miskin. Begitulah kira-kira kenyataan dilapangan bagi sebagian besar masyarakat seperti Karina. Ada jurang besar antara mereka yang mengendalikan ekonomi dan mereka yang hanya bisa mengikutinya. Harga pangan naik, biaya pendidikan semakin mahal, layanan kesehatan semakin sulit diakses, dan upah rendah tetap menjadi standar yang diterima oleh mereka yang tidak punya pilihan lain.

    "Seberapa pun keras kita bekerja, kita tetap berada di tempat yang sama," bisiknya dalam hati. Karina tidak ingin anak-anaknya mengalami nasib serupa. Ia ingin mereka punya masa depan yang lebih baik, tapi bagaimana caranya? Apakah mungkin keluar dari lingkaran ini jika sistem yang ada selalu menempatkan mereka di posisi yang lemah?

    Karina menghela napas panjang. Ia menatap piring-piring di atas meja, berpikir bagaimana caranya agar Luna dan Aden bisa memiliki masa depan yang lebih baik. Apakah mereka akan mengalami nasib yang sama? Atau akankah ada jalan bagi mereka untuk keluar dari lingkaran ini?

    Pikiran-pikiran itu terus berputar di kepalanya saat ia membereskan dapur. Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, ia akan tidur dengan kepala penuh kekhawatiran. Tapi esok hari, ia akan bangkit lagi, mencari cara agar keluarganya bisa bertahan. Karena begitulah kehidupan—tak pernah benar-benar memberi kemudahan, tetapi selalu memberi alasan untuk terus berjuang.

    Karina melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Aiman belum pulang, dan itu membuatnya semakin gelisah. Ia tahu, pekerjaan yang dilakukan suaminya melelahkan, belum lagi upah yang kadang tidak dibayar penuh atau ditunda. Karina menghela napas, mencoba menepis kekhawatiran yang makin menumpuk.

    Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki terdengar di halaman depan. Pintu kayu tua itu terbuka, menampilkan sosok Aiman yang tampak lebih lelah dari biasanya. Bajunya kotor berdebu, keringat masih membasahi dahinya. Ia tersenyum tipis pada Karina sebelum duduk di kursi dekat pintu.

    "Bagaimana hari ini, Mas?" tanya Karina hati-hati.

    Aiman mengusap wajahnya, lalu menatap istrinya dengan mata yang dipenuhi kelelahan. "Hari ini lumayan, tapi juragan bilang pembayaran baru bisa cair lusa. Aku hanya dapat uang makan untuk hari ini."

    Karina menelan ludah. Itu berarti mereka harus bertahan dua hari lagi dengan sisa beras yang tinggal sedikit. Ia tersenyum kecil, berusaha menenangkan suaminya. "Tidak apa, Mas. Yang penting kamu sudah berusaha."

    Aiman menggenggam tangan istrinya erat. "Aku akan coba cari tambahan kerja besok. Mungkin ada yang butuh tenaga buat angkut barang di pasar." Mereka berdua saling membalas senyuman. Senyuman yang menguatkan hati dan pikiran mereka untuk tidak menyerah dalam segala kondisi. Bagaimanapun pasti selalu ada hal yang bisa disyukuri dalam segala keterbatasan dan kesulitan yang mereka hadapi.


TTD-Ali Yasrif 

Comments

Post a Comment