Aku duduk termenung, memandangi kendaraan berlalu lalang di seberang jalan. Sudah tiga bulan berlalu, aku tak kunjung mencapai target yang aku harapkan. Aku memperhatikan orang-orang bergerak cepat di kota metropolitan ini, seolah mereka tahu betul ke mana mereka harus pergi dan apa yang perlu mereka lakukan. Sedangakan aku, hanya diam, duduk di bangku besi agak berkarat dekat halte bus.
Aku pernah percaya bahwa hidup adalah perjalanan menuju kesuksesan. Kerja keras, usaha tanpa henti. Tapi sekarang, di dalam kepalaku, berbagai pertanyaan berputar tanpa henti: Apa makna kesuksesan yang aku percayai selama ini?Apakah aku masih kurang dalam bekerja keras? Untuk apa sebenarnya semua usaha yang telah aku lakukan?
Aku menunduk, menatap kosong ke sepatu kusamku. Pikiran-pikiran itu semakin menyesakkan. Aku ingin berhenti. Berhenti berpikir. Berhenti merasa. Aku merasa kehilangan arah, semua yang dulu menyenangkan kini terasa hampa bagiku.
Angin sore berhembus lembut, membawa suara klakson dan derap langkah manusia-manusia yang seakan tidak memiliki waktu untuk berhenti. Di antara keramaian itu, aku tetap terjebak dalam kebisingan pikiranku sendiri. Aku merasa seperti bagian yang tak pas dari sebuah puzzle besar kehidupan. Semakin aku mencoba memahami, semakin aku merasa asing di dunia ini.
Seseorang menyebrangi jalan dihadapanku, berjalan perlahan mendekat ke arahku dan duduk di sampingku. Aku menoleh sedikit, seorang pria paruh baya dengan wajah yang tampak familiar tersenyum kecil ke arahku. "Lagi mikirin sesuatu yang berat, ya?" tanyanya.
"Nich, minum dulu. Nggak baik kalau terus-terusan tenggelam dalam pikiran sendiri." Sambil menyerahkan kopi kaleng kepadaku. Aku hanya bisa membalas dengan senyuman tipis.
Aku menerima kopi itu dengan ragu, tapi akhirnya mengangguk kecil. "Terima kasih," gumamku pelan. Aku menetap pria paruh baya itu lebih lama, berusaha mengingat dari mana aku mengenalnya.
“Sepertinya kamu lupa siapa aku. Wajar saja. Kita jarang bertemu. Aku pemilik toko roti kecil di seberang jalan sana. Kamu beberapa kali membeli roti di tokoku. Aku selalu mengingat gerak-gerik serta tingkah lakumu ketika membeli roti di tokoku, itu memberikan kesan yang berarti untukku. Mungkin kau tidak menyadarinya dan tidak menganggap itu penting tetapi itu berarti bagiku. Sehingga setiap pagi dan sore hari aku dapat mengenalimu hadir di halte ini. Tetapi tidak seperti hari-hari yang lalu. Saat ini kamu seperti orang yang begitu berbeda dari orang yang membuatku terkesan itu, dan aku berpikir ada baiknya kalau aku menghampirimu. Hal apa yang membuatmu gelisah dan tak bersemangat?”
Aku terdiam seribu kata. Aku tidak menyangka ada seseorang yang memperhatikanku sedemikian rupa. Pengakuannya seperti cahaya lembut rembulan yang menerangi gelapnya malam pikiran dan hatiku saat ini. Padahal selama ini aku merasa diriku tidak begitu terlihat di dunia ini, tapi ternyata tanpa aku sangka ada seseorang dari tempat yang tidak terpikirkan olehku mengakui keberadaan diriku.
Aku menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya menjawab, "Aku merasa gagal. Aku sudah berusaha keras, tapi semuanya terasa sia-sia. Aku seperti kehilangan arah, kehilangan tujuan. Aku sangat bingung denga hal-hal yang akan aku hadapi kedepannya."
Pria itu tersenyum lembut. "Kau tahu? Hidup ini seperti membuat roti. Kadang adonannya tidak mengembang, kadang terlalu keras, kadang rasanya kurang pas. Tapi kita tetap mencoba lagi, mengubah resep, menyesuaikan bahan, sampai akhirnya kita menemukan rasa yang tepat. Seperti itu pula hidup yang kita arungi ini. Tidak semua hal berjalan sesuai dengan apa yang kita rencanakan dari jauh-jauh hari, semua itu dapat berubah bahkan di detik-detik terakhir. Tapi ingatlah bukan berarti kita harus berhenti berusaha karenanya. Masih banyak hal yang dapat kita usahakan, kita perbaiki, dan kita syukuri."
Aku menghela napas, mencoba meresapi kata-katanya. "Tapi bagaimana kalau aku sudah mencoba berkali-kali dan tak kunjung mendapatkan cita dan harapan yang aku taruh tepat di depan kelopak mataku?"
Pria itu tersenyum lagi. "Lalu kenapa? Apa yang membuatmu berpikir bahwa kegagalan itu akhir dari segalanya? Kau hanya butuh waktu untuk menemukan 'resep' yang cocok untuk perjalanan hidupmu. Tidak ada orang yang langsung berhasil tanpa pernah tersesat. Mereka perlu mengarungi luasnya samudra perjuangan dan kegagalan yang tak berujung ini. Bahkan aku, seorang penjual roti kecil, membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk sampai di titik ini. Jadi, jangan biarkan satu kegagalan membuatmu berhenti mencoba. Kau harus dapat memanfaatkan segala kesempatan yang ada dengan sebaik mugnkin."
Aku menatapnya, masih ragu. "Tapi bagaimana kalau aku terus gagal? Bagaimana kalau aku tidak pernah menemukan 'resep' itu?"
Pria itu terkekeh pelan. "Seperti yang telah aku ucapkan barusan, kita semua harus mengarungi samudra yang tak berujung ini. Wajar saja jika terbesit di pikiranmu kata menyerah, bahkan aku-pun pernah hampir menyerah. Aku pernah merasa semua usahaku selama bertahun-tahun sia-sia dan tidak bernilai sama sekali. Tapi ada satu hal yang membuatku terus bertahan."
"Apa itu?"
Ia memutar kaleng kopinya perlahan sebelum menjawab, "Orang-orang yang selalu hadir di sekitarku. Ada seorang nenek yang setiap pagi datang ke tokoku hanya untuk sekadar menyapa. Ada pelanggan yang berkata kalau rotiku adalah satu-satunya hal yang membuat harinya lebih baik. Mereka mungkin tidak menyadarinya, tidak sadar bahwa apa yang mereka lakukan kepadaku dan kata-kata kecil yang mereka lontarkan ketika berhubungan denganku membuat aku termotivasi untuk terus bertahan hari demi hari, hingga akhirnya aku bisa menemukan tujuanku yang sebenarnya untuk terus menekuni jalan yang telah aku tekuni ini."
Aku terdiam, memikirkan kata-katanya.
"Jadi," lanjutnya, "mungkin kau hanya perlu mencari hal-hal kecil yang bisa membuatmu bertahan hari demi hari. Jangan terlalu memikirkan hal-hal yang terlalu jauh ke depan. Fokus saja pada satu hari ini, lalu satu hari setelahnya. Lakukan yang terbaik dalam setiap momen dan hal yang kau kerjakan. Siapa tahu, tanpa sadar, kau sudah berjalan begitu jauh. Tak ada seribu langkah yang terlewati tanpa kau mulai dari langkah pertama. Apakah kau ingat bahwa dalam memproduksi sesuatu kita mengenal istilah proses? Nikmatilah proses teresebut niscaya kau akan menemukan hal yang tidak kau sangka sebelumnya. Jangan hanya fokus terhadap hasil. Karena proses yang baik selalu menghasilkan hasil yang baik. Setidaknya kalau-pun kau tidak mendapatkan hasil yang baik kau mendapatkan banyak hal dalam proses yang kau jalani."
Aku terdiam sejenak. Matahari mulai tenggelam di cakrawala, langit mulai berubah warna menjadi semburat jingga yang menenangkan. "Mungkin kau benar," kataku pelan. "Mungkin selama ini aku terlalu sibuk memikirkan apa yang belum kucapai dan membutakan diriku dari hal-hal penting yang seharusnya aku perhatikan juga, dan karenanya aku sampai lupa bahwa aku masih bisa melangkah sedikit demi sedikit. Kini aku masih berada dalam siklus proses yang harus aku hadapi dengan sepenuh hati."
Pria itu tersenyum hangat. "Itulah yang aku sebut sebagai semangat seorang pejuang. Satu langkah kecil setiap hari sudah cukup. Jangan bebani dirimu dengan harapan yang terlalu berat. Nikmati perjalanan ini bersama dengan orang-orang terdekatmu. Jangan hanya menyendiri seperti yang kau lakukan sekarang."
Angin kembali berembus lembut, membuat dedaunan di pepohonan bergoyang pelan. Aku menoleh ke arahnya, ingin menanyakan sesuatu. "Bagaimana jika suatu hari aku merasa tidak sanggup lagi? Jika aku benar-benar tidak bisa melangkah?"
Ia mengamati wajahku sejenak sebelum menjawab. "Maka berhentilah sejenak. Tidak apa-apa. Kau tidak harus selalu berjalan dengan kecepatan yang sama setiap saat. Ada kalanya kau perlu istirahat, mengumpulkan tenaga, dan menenangkan diri. Tapi ingatlah satu hal, jangan berhenti terlalu lama apalagi kau berniat untuk tidak melanjutkan prosesmu."
Pria itu berdiri, menepuk bahuku dengan lembut. "Aku harus pergi. Ingatlah, kau bisa mampir ke tokoku di lain waktu, semoga dengan kunjunganmu ke tokoku dapat memberikan dampak positif kepada dirimu."
Aku mengangguk, kali ini dengan senyum kecil di wajahku. "Terima kasih."
Ia mulai berjalan menjauh, meninggalkanku dengan pikiranku sendiri. Aku menarik napas dalam-dalam, merasakan udara yang sejuk mengisi paru-paruku. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa ada harapan.
Aku berdiri dari bangku, melangkah pelan menuju rumah. Tidak ada yang berubah secara ajaib dalam hidupku, tidak ada beban yang tiba-tiba menghilang. Tapi aku memiliki sesuatu yang baru, sebuah pemahaman bahwa aku bisa terus berjalan, meski hanya selangkah demi selangkah. Dan mungkin, hanya mungkin, itu sudah cukup untuk sekarang.
TTD-Ali Yasrif
Terimakasih Telah Membaca
ReplyDeletewahhhh, gak nyangka kata2nya sebagus ini
ReplyDelete