Cerita Pendek (CERPEN ALYAS) - Perahu Kecil

Aku Fath, seorang anak berambut ikal. Aku duduk bersila bersama keempat temanku di tepi sebuah sungai kecil, memandangi perahu-perahu mainan yang kami buat dari pelepah pisang terapung mengikuti arus. Udara sore yang hangat serta suara gemericik air menciptakan ketenangan tersendiri bagi kami berlima. Kami tertawa, bersenda gurau memamerkan kehebatan diri kami masing-masing dalam membuat perahu mainan. Tak ada hiburan yang lebih menarik bagi kami selain berkumpul dan bercengkrama setiap selepas sekolah di tepian sungai ini. 

“Apakah kalian masih ingat apa yang dikatakan bu Mia tadi pagi?” Sahut Ran, salah seorang anak terpintar diantara kami. 

Aku mencoba menerka dan mengorek kembali apa saja yang disampaikan oleh bu Mia selama kelas pagi tadi. 

“Jangan lupa mengerjakan PR Matematika pak Reno.” Mail yang duduk tepat disamping Ran menjawab asal. 

“Bukan itu yang aku maksud, waduh, kalian ini tidur ya? Bu Mia tadi bercerita tentang sebuah perahu kecil yang dapat berkelana jauh menyusuri banyak pulau.”

“Oh ya, aku ingat. Itu adalah petualangan yang sangat seru.” Aku menanggapi perkataan Ran. 

“Ya, kau benar Fath. Bayangkan dia hanya memiliki perahu yang kecil, tetapi dia bisa menjelajahi dunia. Aku ingin menjadi seperti tokoh tersebut. Melihat hal-hal yang belum pernah kita lihat sebelumnya. Bertemu dengan orang yang berbeda bahasa dan pakaian dengan kita.” 

“Aku juga mau seperti itu.” kami berlima saling menatap dan tenggelam dalam lamunan masing-masing. 

Aku membayangkan diriku mengarungi lautan yang sangat luas bersama keempat temanku. Kemudian aku teringat sesuatu, “hey, tahukah kalian kalau sekolah kita akan mengadakan festival drama sebulan dari hari ini. Bagaimana kalau kita mengangkat cerita dari bu Mia menjadi drama di festival tersebut?”

“Wah, kau benar Fath aku setuju. Kalau begitu aku akan mulai menulis ulang alur ceritanya kemudian memasukkan kita berlima kedalam drama. Siapa dari kalian yang mau berperan sebagai kapten di drama nanti?”

“Aku saja Ran, karena aku memiliki badan yang paling besar diantara kita semua.” Andrea menyeringai sambil memamerkan tubuhnya yang besar. 

“Haduh itu si, perutmu saja yang besar Dre.” Mail menatap Andrea dengan tatapan mengejek. 

“Mail awas saja kau. Kemari biar aku lempar kau ke sungai.”

“Tenang kawan-kawan. Aku kira Andrea bisa menjadi kapten di kapal kita kalau kita berperan menjadi bajak laut yang sedang mencari pulau dengan penuh harta karun tersembunyi.” Al segera menengahi ledekan yang terus dilontarakan oleh Mail dan Andrea. 

“Aku setuju, kalau begitu aku akan merancang naskah drama dan membagikannya kepada kalian paling lambat lusa nanti,” kata Rand.

Seiring dengan berjalannya waktu kami terus berbincang mengenai apa saja yang akan kami tunjukkan di festival drama sekolah nanti. Tak terasa hari semakin gelap, sang mentari-pun mulai bersembunyi di ufuk barat nan jauh disana. Setelah saling mengucapkan salam perpisahan, kami mulai berjalan kembali ke arah rumah kami.

Keesokan harinya, suasana sekolah terasa lebih sibuk. Aku, Ran, Andrea, Mail, dan Al sudah tidak sabar memulai persiapan untuk drama yang kami rencanakan. Di sela-sela jam istirahat, kami berkumpul di bawah pohon mangga di halaman sekolah, tempat biasa kami berdiskusi. Ran membawa sebuah buku catatan kecil yang mulai dipenuhi coretan ide-idenya.

"Ini dia naskah kasarnya," kata Ran, menyerahkan buku itu kepada kami. Aku melihat ke dalamnya. Alurnya menceritakan petualangan sekelompok bajak laut yang membangun sebuah perahu dan berlayar mencari pulau misterius yang penuh harta karun. Setiap dari kami mendapatkan peran penting. Andrea, seperti yang telah kami sepakati sebelumnya, menjadi kapten kapal yang gagah. Aku menjadi penunjuk arah, membawa peta dan kompas. Mail menjadi si tukang cerita yang suka memecahkan teka-teki, sementara Al adalah penemu yang selalu membawa alat-alat unik. Ran, tentu saja, menjadi narator cerita sekaligus pengatur semuanya.

“Bagaimana? Apa ada yang mau diubah?” tanya Ran. 

“Ini luar biasa!” seruku. “Tapi bagaimana dengan properti perahu yang akan kita gunakan nanti? Kan nggak mungkin kita benar-benar bawa perahu besar ke atas panggung.”

Ran tersenyum penuh percaya diri. “Aku sudah memikirkan itu. Kita bisa membuat perahu dari kardus bekas. Kita kerjakan bersama di rumah Andrea, dia kan punya halaman yang luas.” 

Andrea mengangguk. “Setuju! Kalian juga akan aku berikan cemilan yang melimpah nanti.” Andrea menyeringai lebar sambil mengelus pertunya yang besar.

Diskusi semakin seru. Kami merencanakan detail setiap adegan, membayangkan bagaimana layar panggung akan disulap menjadi lautan dengan menggunakan kain biru besar yang akan digoyang-goyangkan oleh beberapa teman yang akan kami ajak membantu nanti.

Hari-hari berlalu dengan cepat. Seusai sekolah, kami sering berkumpul di rumah Andrea. Ruang tamu yang luas diubah menjadi tempat latihan. Kardus-kardus bekas dari toko kelontong dekat rumah Mail mulai diubah menjadi perahu mini. Cat biru dan putih menghidupkan bentuknya, sementara kain merah diikat sebagai layar. Semua sibuk, tak lupa seperti apa yang disampaikan Andrea sebelumnya orang tua Andrea menyediakan cemilan dan minuman yang banyak untuk kami konsumsi selama pengerjaan proyek ini.

Namun, seminggu sebelum festival, masalah muncul. Layar perahu yang kami buat sobek karena tertiup angin dan menyangkut disalah satu kawat yang mencuat saat dijemur di halaman rumah Andrea. Kami semua panik.

“Bagaimana ini? Kalau tidak ada layar, perahu kita terlihat aneh,” kata Mail dengan wajah cemas. 

“Tenang, kita pasti bisa memperbaikinya,” ujar Al, meski suaranya terdengar tidak yakin.

Ran tampak berpikir keras. “Aku punya ide! Bagaimana kalau kita minta bantuan bu Mia? Mungkin beliau punya kain atau solusi lain.”

Kami segera pergi ke rumah bu Mia sore itu. Beliau tersenyum hangat saat mendengar cerita kami. “Anak-anak, kalian benar-benar mengingat cerita saya dengan baik, ya,” katanya. “Tunggu sebentar, ibu punya sesuatu.”

Tak lama kemudian, bu Mia kembali membawa kain putih besar yang halus dan kuat. “Ini kain yang dulu ibu pakai saat membuat dekorasi panggung sekolah. Kalian bisa menggunakannya sebagai layar perahu kalian.” Kami bersorak kegirangan dan mengucapkan terima kasih berulang kali.

Hari festival pun tiba. Perahu kardus kami berdiri megah di atas panggung, lengkap dengan layar dari kain bu Mia yang berkibar anggun berkat kipas angin di belakang panggung. Aula penuh dengan suara anak-anak, orang tua, dan guru yang sudah menunggu dengan antusias. Jantung kami berdegup kencang, tapi kami bertekad untuk memberikan pertunjukan terbaik.

Ketika drama dimulai, Andrea tampil penuh percaya diri sebagai kapten kapal bajak laut. Dengan topi bajak laut yang sedikit terlalu besar untuk kepalanya, dia berdiri tegap di atas perahu sambil memegang teleskop mainan dari gulungan kertas.

"Semua siap? Angkat jangkar! Kita akan menemukan pulau penuh harta karun!" serunya, diikuti oleh Mail yang tiba-tiba berdiri dan salah mengangkat dayung perahu ke atas kepala. 

“Mail, itu bukan jangkar, itu dayung!” bentak Andrea sambil memelototinya, membuat seluruh penonton tertawa terbahak-bahak.

Saat kapal hampir menabrak “karang” (yang sebenarnya adalah tumpukan bantal besar di panggung), Andrea pura-pura panik sambil berteriak, “Bantu aku baca peta ini! Di mana arah selatan?”

Aku mendekat, melihat peta sambil menatap bingung. “Kapten, petamu terbalik!”

“Kau serius?!” Andrea membalik peta dengan tergesa-gesa, penonton sekali lagi meledak dalam tawa.

Kami akhirnya tiba di pulau tujuan. Adegan ini adalah klimaks dari cerita. Ketika kami menemukan peti harta karun, Andrea mencoba membukanya dengan gaya dramatis, tapi petinya sulit dibuka.

“Apa ini? Bahkan kunci peti pun tidak mau bekerja sama denganku!” gerutu Andrea, membuat penonton terkikik.

Al mendekat dengan obeng mainan. “Tenang, Kapten. Aku sudah bawa alat rahasia!” Setelah pura-pura memutar obeng, peti itu akhirnya terbuka, memperlihatkan “permata” kaca warna-warni yang memantulkan cahaya gemerlap.

Ran, sebagai narator, menyimpulkan cerita dengan suara penuh semangat, “Harta karun ini bukan hanya tentang benda-benda yang bersinar, tapi juga tentang keberanian, kerja keras, dan perjuangan dari para bajak laut. Walaupun perahu yang mereka gunakan kecil tetapi mereka tetap bisa menghadapi ombak besar” setelah Ran menyelesaikan ucapannya, tepuk tangan menggema di aula.

Setelah pertunjukan selesai, bu Mia menghampiri kami dengan mata berbinar. “Kalian berhasil membawa cerita itu hidup dengan cara yang indah. Kalian membuat saya bangga.” 

Perasaan bahagia yang tak tergantikan, mungkin tak hanya dirasakan oleh bu Mia seorang. Aku-pun merasakan hal yang sama. Petualangan itu mungkin hanya sebuah drama yang berusaha kami tampilkan dengan sebaik mungkin untuk menghibur teman-teman, guru-guru dan para hadirin, tetapi dibalik itu semua ada nilai persahabatan, kerja keras, dan mimpi yang kami bangun bersama. Aku sangat bersyukur memiliki mereka sebagai teman sepermainanku.

Dalam setiap langkah persiapan drama ini, kami belajar banyak hal. Dari menyelesaikan masalah layar sobek, berbagi tawa di sela-sela latihan, hingga mendengar tepuk tangan meriah dari penonton, aku sadar bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari kesempurnaan, tetapi dari perjalanan yang penuh arti bersama orang-orang yang kita sayangi.

Perahu kecil yang kami buat mungkin hanya mainan, tetapi semangat kami adalah layar yang membuatnya melaju. Dan dalam hidup, mungkin kita semua adalah perahu kecil yang mengarungi samudra luas—kadang menghadapi ombak besar, tetapi bersama sahabat, kita tahu bahwa ombak itu bisa kita taklukkan. Persahabatan adalah harta karun sejati yang tidak akan pernah tenggelam, bahkan di tengah badai sekalipun.



TTD-Ali Yasrif

Comments

Post a Comment